Jumat, 18/10, saya ditilang di jalan dekat Jembatan Siak, Pekanbaru. Saat polisi mengambil STNK dan bertanya kenapa melakukan pelanggaran, saya tidak bicara banyak, mengaku salah lalu meminta segera diproses.
Selanjutnya, saya digiring ke petugas bagian administrasi. Di sana, sudah ada beberapa pengemudi roda 4, yang menunggu giliran membayar uang denda. Sampai di sini, tidak ada yang salah dengan perilaku polisi. Semua berjalan normatif.
Prosesi warga negara menyetorkan uang secara digital ke negara tiba-tiba menjadi ricuh saat saya melihat dan mendengar seorang polisi mendatangi supir yang merekam aktivitas polisi di lokasi tersebut.
Dengan nada mengancam, polisi meminta yang bersangkutan segera menghentikan rekaman lalu menghapus data tersebut dari gawai. Sebagai seseorang yang ber-privilege mengenyam pendidikan tinggi dan tahu sedikit hukum negara, saya tidak tinggal diam.
Saya datangi sang polisi lalu bertanya, " Atas dasar apa bapak melarang dia mengambil gambar, mana pasalnya, apa ada aturan di luar UU yang mengharamkan perbuatan warga negara merekam aktivitas ABDI NEGARA?"
Bukan malah menunjukkan apa yang saya minta, polisi bersenjata revolver yang kini bersama-sama rekan satu korpsnya yang berada di lokasi hanya menyebut bahwa larangan tersebut bersifat diskresi.
Entah apa yang ada di pikiran pelayan publik tersebut ketika berbicara. Apa mereka pikir semua masyarakat takut sehingga tidak malu menjelaskan seenaknya.
Saya tahu itu hanya ulasan akal-akalan. Kalaupun memang ada, tentu tidak masuk akal jika polisi nan pintar dan mendapat remunerasi lebih besar dari anggota TNI tidak tahu. Mudah saja sebetulnya membuat saya diam. Tunjukkan aturannya dan jangan berlindung dibalik istilah karet.
Setelah sekian menit berdebat dan saya tetap ngotot meminta polisi menunjukkannya, akhirnya sang supir dipersilahkan mendokumentasikan. Tentu saja pembolehan tersebut disertai ancaman pasal karet yang ada di UU ITE.
"Silahkan ambil video, tapi kalau sampai memberikan narasi-narasi negatif, akan kami kejar dengan undang-undang yang berlaku," begitu kira-kira kalimat yang diarahkan polisi kepada si supir.
Walau dalam hati masih tidak terima dengan arogansi aparat mengancam pembayar pajak, saya mencoba lebih tenang. Toh tujuan telah tercapai, memberi pengalaman kepada polisi bahwa tidak semua rakyat takut mereka. Untuk sesama rakyat, saya berharap kita berani berbeda pendapat dengan aparat jika memang tidak melanggar aturan.
Usai menyelesaikan pembayaran daring, saya lalu pamit dan mengulurkan lengan untuk berjabat tangan kepada 3 orang polisi yang tadi sempat beradu argumen. Sayangnya, hanya satu orang yang mau menyambutnya. Sisanya, nampak enggan merespon secara simpatik. Saya masih melihat gurat-gurat kejengkelan di wajah mereka sampai detik-detik terakhir sebelum pergi.
Oh ya, saya yakin tidak semua polisi seperti mereka. Ada yang baik, tapi tidak banyak. Kenapa saya menyangka demikian? Kalau kebanyakan adalah sosok bersih dan berintegritas, tentu tidak takut kamera. Bukankah seharusnya senang, ketika masyarakat ambil bagian mempublikasikan bagaimana polisi bekerja :)
Comments