Tahun ini, jalan rejeki keluarga kecil kami membawa saya menetap di Sumatera. Paling tidak, bila takdir bertepatan dengan rencana, saya sedang dan akan tinggal di Way Kanan sampai ujung 2025 tiba.
Saat momen lebaran tiba, usai Solat Ied, nampaknya secara global, simbol budaya khas hari raya yang ada tidak beda antara Borneo, Sumatera dan Jawa. Aneka olahan daging, kupat, kue lebaran dan agenda anjangsana.
Di Jawa, tepatnya di kampung saya, adat silaturahmi dimulai sejak khatib Ied selesai bicara. Seorang tokoh pemuda lalu berdiri dengan mikrofon di tangan. Mewakili taruna, ia memulai prosesi dengan basa-basi kemudian inti. Minta ampunan kepada segenap tetua.
Sebagai tanggapan, sosok senior menyampaikan bahwa permintaan dikabulkan sembari menghaturkan permohonan semisal kepada yang muda. Formalitas di masjid selanjutnya ditutup dengan berjabat tangan.
Prosesi di atas yang memakan waktu lebih lama dari sholat lengkap dengan khutbah barulah permulaan. Pungkas makan opor, sungkeman keluarga besar dan bagi-bagi THR di rumah sendiri, rutinitas berikutnya adalah berkunjung ke saudara jua tetangga.
Berikutnya, silaturahmi ditandai dengan salaman, diisi dengan makan kue lebaran dan bincang santai cum pamer pencapaian. Bila dirasa telah cukup, kurang lebih 20 menit kemudian adalah sesi pemungkas.
Pemimpin rombongan mendekat bersimpuh di hadapan tuan rumah. Suasana mendadak khusyuk seiring hadirin diam. Tata krama yang tadi telah dilaksanakan di masjid pun diulang. Basa-basi dan hatur maaf dibalas pengampunan serta wejangan.
Laksana sholat, etiket tersebut seumpama kewajiban. Minta maaf tidak bisa ditunaikan secara sederhana. Harus ada pembuka, isi dan epilog. Durasi juga mustahil singkat sejalan dengan ragam bagian tata laksana
Panjang dan ribet adalah komentar tokoh masyarakat di dekat perkebunan saat melihat saya menduplikasi budaya Jawa di Sumatera saat menyambangi kediamannya. "Ya begitulah kami, tidak terbiasa straight forward dalam banyak hal," kelakar saya.
"Kalau di sini, selesai khutbah, lanjut salam-salaman. Di rumah nanti tetangga datang. Cepat saja paling lama 5 menit. Duduk sebentar, menghaturkan maaf lahir batin lanjut pindah ke tujuan berikutnya," urai beliau. "Kalau kayak kamu tadi malah ngeri, kayak perpisahan," tambahnya.
Tidak hanya tokoh asli setempat, perantau dari Jawa yang di lain waktu saya kunjungi juga mengutarakan pendapat serupa. "Di sini tidak ada kebiasaan seperti itu, bahkan di lingkungan komunitas transmigran itu sendiri. Datang, duduk sejenak lalu keluar," paparnya.
Tak sebatas di lingkungan kerja saja mereka tidak suka bertele-tele. Maunya langsung ke inti minus basa-basi. Begitulah mungkin karakter penghuni Sumatera, terbiasa to the point tanpa kosmetik di muka dan belakang.
Comments