Setelah 1 bulan dilatih senior cara menghadapi petani dan mitra kerja di Kubu Raya, pada 30 Maret 2020, perintah berangkat ke titik tugas saya terima. Putussibau, Kapuas Hulu, 600 km arah utara Pontianak.
Waktu itu sebetulnya tawaran yang diberikan adalah jalur udara, dengan ATR-72 langsung dari Supadio menuju Bandara Pangsuma. Jiwa muda saya sekonyong-konyong tidak menerima. "Biarkan saya berkendara roda dua saja," tolak saya.
Dengan berat hati, supervisor mengabulkan. Usai detail perjalanan saya sampaikan lengkap dengan rincian waktu serta biaya yang dibutuhkan, tepat 1 April saya mulai Tour de Borneo.
Ditemani Vega-R tua bekas yang baru beberapa hari dibeli seharga 5 juta, saya mulai petualangan selama 3 hari 2 malam. Etafe pertama adalah Pontianak - Sanggau. Jalan sepanjang 185 km selesai saya ukur dalam waktu 6 jam.
Lama memang karena motor digeber pelan-pelan. Tentu agar pemandangan bisa dinikmati secara perlahan. Semasa berkendara, tidak ada hal menyeramkan yang saya khawatirkan selain kendala pada kendaraan.
Sampai di kota pertama menjelang Magrib tiba, saya singgah di penginapan. Hotel kecil nan sepi di pusat kota jadi pilihan. Seingat saya hanya ada dua tamu singgah karena Covid merajalela lalu muncul kebijakan pembatasan
Safe and sound itulah kesan yang saya dapatkan. Meski sepi, hanya sawit, karet dan sesekali hutan di kanan-kiri jalan, touring di sana sama sekali tidak menakutkan. Mungkin itu pula sebab kenapa kantor mengijinkan.
Hari kedua saya lanjutkan pekerjaan, rute Sanggau - Sintang. Mengingat tidak ada yang terburu-buru harus dikejar, jarak 140 km tetap saya tempuh seharian.
Lagi-lagi seluruhnya aman terkendali kecuali insiden putus rantai yang tidak lama berhasil dibereskan berkat bantuan warga lokal. Beberapa kali berhenti untuk foto, istirahat dan jajan, saya menyimpulkan penduduk sini ramah pendatang.
Malam kedua saya tidur di Sintang. Kota persinggahan yang 4 bulan kemudian tak terduga jadi tempat saya langsungkan pernikahan. Di Hotel yang sama pula, malam pertama dengan istri saya lewatkan.
Jika dari Pontianak - Sintang, jalur datar dan landscape kebun dominan, maka sejak Sintang hingga Putussibau, medan menanjak berliku yang berada di tengah-tengah hutan adalah kawan di 265 km sisa perjalanan.
Paling menantang tapi menyenangkan karena itu pertama kali saya menyaksikan hutan hujan tropis sungguhan. Tidak terhitung berapa kali menepi, sekedar mengambil gambar dan menikmati keindahan alam.
Tepat di momen Adzan petang berkumandang, 3 hari selepas meninggalkan Ibu Kota Kalimantan Barat, saya sampai di kota tujuan. Sehat, selamat tanpa pengalaman mencekam.
Di masa tersebut, saya tidak menganggap besar keberhasilan pendatang menyusuri jalan di Kalimantan dengan roda dua sendirian. Biasa saja sebab sejak awal datang, tidak ada peringatan tentang eksistensi ancaman, entah itu pungli atau perampokan.
Itulah bedanya Sumatra dan Kalimantan. Di sini, sekarang, saya pernah alami pencegatan oleh preman yang meminta uang di Palembang. Belum lagi cerita menyeramkan dari kawan atau media digital tentang pembegalan, pungli dan penjarahan.
Comments