Sejujurnya saya bukan lelaki romantis. Sebagai suami, istri sering menyebut tidak peka. "Lakimu ya begini, kalau mau diterima, jika tidak, bisa dikembalikan," sahut saya bercanda.
Mungkin ketidakromantisan saya disebabkan oleh pemaknaan kata romantis itu sendiri yang berbeda dengan kebanyakan. Buat saya, jiwa menjadi hangat, kalbu merasa syahdu ketika melihat kebaikan manusia atau ketetapan Allah yang luar biasa dan belakangan jarang saya temukan adalah hal romantis
Jum'at lalu, saya, istri dan Hafsah berkunjung ke Baturaja. Misi utama adalah berobat dan membuka rekening dorman di BSI. Setiba di sana, tentu wisata kuliner juga kami lakoni. Sayang sekali jika kenikmatan pempek, martabak telur dan Mie Ayam Ogan 4 terlewatkan begitu saja.
Nama terakhir ini punya tempat spesial di lidah mendang-mending saya. Pada jalan-jalan di Juni lalu, saya pertama kali pergi ke warung yang buka jam 6:30 pagi.
Sekali mencicip, saya langsung sematkan bintang 1 ala Michelin kepada tempat makan itu. Ini artinya, Mie Ayam Ogan 4 adalah yang terbaik di kelasnya. Laik disambangi berulang kali ketika bertandang ke Kota Baturaja.
Bukan, bukan soal panganan enak yang membuat Baturaja romantis pagi itu melainkan sikap ibu paruh baya peranakan Tionghoa yang juga pemilik resto ini menghangatkan jiwa kemanusiaan saya
Setelah menempati meja dan menikmati mie ayam bakso yang kami pesan, saya melontarkan puja-puji kepada si ibu yang duduk tidak jauh dari kami bertiga.
"Sepanjang perjalanan satu tahun saya di Sumatera mulai Lampung, Palembang, Jambi dan Riau, baru mie di sini yang membuat saya ingin kembali lagi," ungkap saya. "Tekstur mie keriting buatan ibu spesial, bumbu racikan pun cocok sekali dengan lidah saya begitu juga dengan suwiran ayam yang luar biasa," tambah saya melanjutkan.
Setelah menyanjung menunya, saya mengira ibu tersebut akan bercerita lebih detail tentang masakan dan perjalanan beliau membesarkan nama rumah makan itu. Ternyata yang saya dengar agak lain dari biasa.
"Bapak sudah coba mie ayam mana saja di Baturaja ini, barangkali bapak juga bersedia mencicipi mie ayam warung lain yang tidak jauh dari sini, warung itu di sebelah sana," tunjuknya ke arah seberang jalan.
Alih-alih membalas pujian dengan persuasi agar saya hanya menjadi pelanggannya, pemilik Mie Ayam Ogan 4 malah meminta saya ikut melarisi dagangan pesaing. Sebuah sikap, yang kata istri, jarang dimiliki pedagang makanan melayu di kampungnya sana.
Cerita kedua datang dari polisi. Usai membayar tagihan mie ayam, kami bertiga melanjutkan jalan kaki untuk kembali ke rumah sakit. Di perempatan tidak jauh dari tujuan, ada seorang polisi yang pagi itu bertugas mengatur lalu lintas.
Pada jarak sekitar 3 meter dari tempat kami berdiri di trotoar, polisi itu melempar senyuman lalu membentangkan tangan sembari bergerak ke tengah jalan untuk menghentikan kendaraan yang akan melintas. Melihat isyarat tersebut, kami menyebrang.
Seketika hati jadi syahdu karena selama tinggal di Sumatera dan hampir setiap hari mengukur jalan, baru kali itu saya kembali melihat polisi melayani pengguna jalan raya sepenuh hati.
Terakhir adalah tentang takdir Allah yang indah. Menjelang kembali ke Way Kanan, saya menyempatkan diri mencari toko pertanian. Di google map, saya dapati 3 toko terdekat.
15 menit jalan kaki, nampak toko terdekat pertama. Dari kejauhan saya lihat rolling door kios itu terbuka dan dagangan telah digelar. Setelah saya datangi, ternyata tidak ada orang di sana. Saya tunggu 1-2 menit, belum juga ada tanda-tanda kehadiran orang.
Karena diburu waktu, saya lanjut bergeser ke kios lain, sekitar 30 meter dari lokasi pertama menurut Google Map. Di toko kedua, saya bertemu dengan pramuniaga. "Jual hormon X tidak pak?" tanya saya. "Ada pak, tunggu biar kami cari," respon pedagang.
Detik berganti, menit berlalu, pelayan itu belum juga menemukan barang yang diminta. Saya masih menunggu sampai akhirnya penjual menyerah "Tidak ketemu pak, itu barang stock lama sepertinya memang sudah habis," tuturnya menyesal.
Tidak menyerah, saya pun beranjak ke toko selanjutnya. Dalam perjalanan, saya melewati toko pertama dan di saat yang sama muncul seorang ibu paruh baya yang masuk ke kios itu. "Mungkin ini penjualnya," batin saya seraya menghampiri toko tersebut.
Saya bertanya kepada beliau apakah menjual hormon X. Dengan sigap dan tersenyum, beliau berkata ada. Tidak lama, sebotol hormon X yang nampak berdebu dikeluarkan dari etalase dan ditunjukkan kepada saya.
"Saya ambil itu bu, berapa harganya?" tanya saya. "65000," responnya. Uang kemudian diserahkan dan transaksi ditunaikan.
Sebelum balik kanan, saya bercerita kepada sang ibu bahwa sebelumnya saya sudah ke toko ini tapi tidak ada orang. Kemudian saya beranjak ke toko sebelah tapi ternyata di sana tidak ada barang yang dicari. Akhirnya lewat lagi ke depan toko ini dan lihat ibu sudah berada di sini. "Memang nampaknya transaksi ini rejeki ibu," seloroh saya.
"Iya Pak Alhamdulillah, tadi setelah buka toko, saya belanja sayur sebentar. Sekarang ini sepi pembeli tidak seperti dulu. Jarang orang datang untuk cari barang.. " tuturnya dengan nada sedih.
Mendengarnya ucapannya, saya pun merasa diberkahi karena menyaksikan mukjizat Nabi.
"Maka sesungguhnya seseorang niscaya tidak akan mati sebelum jatah rezekinya habis," ucap Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah.
Comments