بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji milik Allah ta’ala semata, Penguasa hari berbangkit, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad صلي الله علِيه و سلام, keluarga, sahabat dan seluruh pengikut beliau yang setia hingga akhir zaman.
Definisi Tafsir Al Qur’an[1]
Tafsir dalam bahasa arab berasal dari kata الفَسْرٌ yang bermakna: menyingkap sesuatu hal yang tertutup. Sedangkan secara istilah Tafsir Al Qur’an adalah menjelaskan makna Al Qur’an Al-Karim
Hukum Mempelajari Tafsir Al-Qur’an
Mempelajari tafsir AlQur’an adalah wajib. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Shaad 29)
Dijelaskan dalam tafsir Jalalain makna لِيَدَّبَّرُوا adalah agar mereka meneliti makna-makna yang terkandung didalamnya dan mengimaninya, adapun لِيَتَذَكَّرَ bermakna agar mereka mengamalkan kandungan Al Qur’an[2]. Pada ayat lain Allah ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an, ataukah hati mereka terkunci (Muhammad ; 24).
Sisi pendalilan wajibnya mempelajari tafsir Al Qur’an berdasarkan ayat pertama, Allah ta’ala menjelaskan bahwasanya hikmah diturunkannya Al Qur’an yang penuh berkah ini agar manusia mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya manusia mengambil pelajaran pada isi kandungan Al Qur’an. Tadabbur adalah merenungi makna dari lafadz agar sampai kepada tujuan yaitu diketahuinya makna dari lafadz tersebut. Maka jika tidak ada tadabbur terhadap Al Qur’an, hilanglah satu hikmah diturunkannya Al Qur’an, sehingga jadilah Al Qur’an semata-mata kata-kata yang tidak memiliki pengaruh dan makna. Dan tidak mungkin seseorang dapat mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an tanpa memahami makna-maknanya.
Adapun sisi pendalilan dari ayat kedua, Allah ta’ala mencela mereka-mereka yang tidak mentadabburi Al Qur’an, dan Allah mengisyaratkan bahwa hal itu terjadi akibat terkunci matinya hati-hati mereka sehingga kebaikan tidak dapat sampai kepada mereka. Adalah salafus shalih menempuh jalan ini, yang mana menempuh jalan tersebut adalah sebuah kewajiban. Dan jalan tersebut adalah mempelajari lafadz dan makna Al Qur’an karena dengan metode inilah memungkinkan bagi mereka untuk mengamalkan Al Qur’an sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Karena mengamalkan sesuatu yang tidak diketahui maknanya adalah suatu hal yang mustahil.
Metode Sahabat dalam Mempelajari Al-Qur’an
Berkata Abdurrahman As Sulamy Rahimahullahu ta’ala: telah bercerita kepada kami para sahabat Nabi yang telah mengajari kami Al Qur’an seperti Usman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan yang selain mereka berdua Radhiallahu anhum. Bahwa mereka jika belajar dari Nabi Shalallahu alaihi wa salam 10 ayat, tidaklah mereka melanjutkan untuk mempelajari ayat selanjutnya sampai mereka mempelajari isi kandungan 10 ayat tersebut, berupa ilmu yang bermanfaat atau amal sholih yang terkandung didalamnya. Para sahabat berkata: Maka kami belajar membaca Al Qur’an, ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an, dan amal yang terkandung dalam Al Qur’an seluruhnya.
Kewajiban Ulama dalam Menjelaskan Al Qur’an kepada Umat
Wajib bagi para ulama untuk menjelaskan Al Qur’an kepada manusia, dengan lisan ataupun lisan mengingat firman Allah ta’ala:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ
Dan ingatlah, ketika Allah mengambil perjanjian dari orang-orang yang telah diberi kitab “hendaklah hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya” (Al Imran 187)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy Rahimahullahu ta’ala berkata dalam tafsir beliau untuk ayat ini: perjanjian yang Allah ambil ini berlaku umum kepada setiap yang Allah berikan kepadanya kitab dan Allah ajarkan kepada mereka ilmu[3] . Menjelaskan Al Kitab pada ayat ini tercakup didalamnya 2 hal, yaitu menjelaskan lafadznya semisal mengajari manusia ilmu tajwid dan menjelaskan makna yang terkandung didalam kitab tersebut.
Tujuan Mempelajari Ilmu Tafsir
Tujuan mempelajari ilmu tafsir yang hendaknya dimiliki oleh setiap setiap muslim adalah untuk mendapatkan tujuan-tujuan yang terpuji dan buah yang agung yaitu 1) mempercayai berita-berita yang terdapat dalam Al-Qur’an, 2)mengambil pelajaran atau manfaat dari berita yang terdapat dalam Al Qur’an, 3)agar dapat menerapkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dalam bentuk yang sesuai dengan apa yang menjadi kehendak Allah ta’ala sehingga Allah ta’ala disembah oleh manusia atas dasar ilmu.
Kewajiban Seorang Muslim Ketika Menafsirkan Al Qur’an
Wajib bagi setiap muslim ketika menyampaikan tafsir Al Qur’an kepada manusia, maka hendaknya dia merasa bahwa dirinya adalah penjelas tentang kehendak Allah. Dan bersaksi atas nama Allah tentang apa yang Allah inginkan dari firmannya. Hendaknya dia mengagungkan status dia sebagai saksi ini sehingga timbul rasa takut untuk berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu. Padahal berkata atas nama Allah adalah perkara yang Allah haramkan dan diakhirat kelak Allah akan menghinakan siapa aja yang berkata-kata atas nama-Nya tanpa ilmu.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, engkau mengatakan terhadap Allah apa-apa yang tidak kamu ketahui (Al A’raaf 33).
Syaikh Abdurrahman As Sa’dy rahimahullahu ta’ala berkata: diantara contoh perbuatan keji yang tersembunyi adalah apa-apa yang terkait dengan amalan hati semisal riya, ujub, sombong, nifaq, adapun syirik adalah menyekutukan Allah dengan makhluqnya dalam peribadatan dan bisa jadi masuk dalam makna ayat ini adalah syirik asghar semisal riya’ dan bersumpah dengan selain nama Allah. Adapun berkata-kata atas nama Allah tanpa ilmu tercakup didalamnya berkata-kata tentang sifat, nama, perbuatan dan syariat Allah tanpa ilmu[4]
Sekian yang bisa kami sampaikan, semoga yang sedikit ini bermanfaat. Kita mohon kepada Allah agar diberi taufiq untuk mengamalkan apa yang telah diketahui ilmunya. Segala kesalahan dalam tulisan ini berasal dari penulis dan syaithan, adapun kebenaran datangnya mutlak dari Allah ta’ala. Alhamdulillah aladzi bi ni’matihi tatimus shalihaat.
Pogung rejo 23:58, 7 ramadhan 1431. Rahmat Ariza Putra
[1] Tulisan ini merupakan ringkasan dan transkrip kajian Ustadz Aris Munandar Hafidzhahullahu ta’ala yang membahas kitab Ushulun Fi Tafsir karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu ta’ala. apa yang terdapat dalam tulisan ini adalah ringkasan bebas dari kata-kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu yang terdapat dalam kitab tersebut dengan sedikit penambahan seperlunya
[2] Tafsir jalalain, hal 466, ta’liq Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfurry Rahimahullahu. Cet II, Darus Salam KSA 1422 H
[3] Tafsir As Sa’di, maktabah Syamilah
[4] Tafsir As Sa’dy, Maktabah Syamilah
Comments