Jawabanmu ketika Menjawab Pertanyaan Agama yang Sifatnya Ijtihadi


سم الله الرحمٰن الرحيم 
                Segala puji bagi Allah ta’ala, Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shalallahu  alaihi wa salam, keluarga, sahabat serta pengikut beliau yang setia hingga akhir zaman. Teman Allah telah memberi nikmat dan taufiq kepada kita semua dengan menunjukkan Tauhid dan Sunnah yang haq, Allah ta’ala memudahkan langkah kaki kita menuju majelis ilmu menimba ilmu dari ahlinya. Sehinga kita memiliki bekal dasar-dasar ilmu keislaman. 

Sedikit ilmu yang kita miliki dan perbedaan penampilan diantara kebanyakan pemuda islam dizaman ini, terkadang hal ini dijadikan alas an bagi sebagian masyarakat atau teman untuk bertanya kepada kita permasalahan-permasalahan agama. Mungkin tidak masalah jika yang ditanyakan permasalahan yang sifatnya Pasti atau tetap dan merupakan perkara ijma semisal pertanyaan dimana Allah ? bolehkah menyembah selain Allah? Apa hukum Sholat 5 waktu? Kapan ibadah haji dilaksanakan? Adakah Nabi setelah Rasulullah shalallahu alaihi wa salam?. 

Akan tetapi jika yang ditanyakan kepada kita pertanyaan yang berhubungan dengan perkara ijtihadiyah, semisal? Apakah mani najis? Apakah wanita haidh boleh masuk masjid? Apakah menyentuh istri membatalkan wudhu? Berapa jumlah raka’at sholat tarawih? Apakah wajib membaca Al Fatihah bagi ma’mum pada sholat zahr? Berapa berat beras yang dibayarkan untuk zakat fitrah?. Semua pertanyaan diatas adalah sebagian diantara permasalahan ijtihadiyah yang banyak diperselisihkan ulama. 

Ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan diatas, tentu kita akan menjawabnya dengan satu pendapat yang kita yakini lebih  mendekati kebenaran berdasarkan ilmu yang kita ketahui. Namun setelah kita jawab pertanyaan tersebut kita diam begitu saja! Ataukah ada adab-adab yang sebaiknya kita laksanakan selepas menjawab pertanyaan itu. Berikut sedikit pembahasan mengenai hal ini

Perbuatan dan Ucapan Sahabat adalah Tauladan bagi Kita

                Allah taala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (At Taubah 100). 

Dan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:

أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة ] رواه أبو داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap menjaga ketakwaan kepada Alloh ‘azza wa jalla, tunduk taat (kepada pemimpin) meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi. Karena orang-orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk (Alloh). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)
                Ayat Al Qur’an  dan  Hadits diatas mengindikasikan kepada kita bahwa ucapan dan tindakan para sahabat merupakan suri tauladan bagi seluruh kaum muslimin dan kitapun diperintahkan untuk mengikuti mereka dalam perkara aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalah. 

Ucapan Sahabat ketika ditanyakan kepada mereka perkara Ijtihadiyah

                Sebelumnya telah dijelaskan, segala bentuk aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalah sahabat Radhiallahu anhum adalah suri tauladan bagi seluruh kaum muslimin, nah pada point ini akan dibawakan atsar dari sebagian sahabat ketika dihadapkan kepada mereka perkara ijtihadiyyah.
Sahabat mulia Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhu pernah berkata, ketika beliau selesai menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepada beliau berkaitan dengan perkara ijtihadiyah
أقول فيها برأيي، فإن يكن صوابًا فمن الله، وإن يكُن خطأ فمني ومن الشيطان، والله ورسوله بريئان منه
Aku berkata dalam permasalahan ini dengan pendapatku sendiri, jika benar maka itu berasal dari Allah, adapun jika salah maka itu berasal dari diriku dan juga godaan syaithan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan itu [1]
Perkataan semisal itu juga diucapkan oleh As Shidiq Abu Bakar Radhiallahu anhu sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan Rasul[2]

                Lihat saudaraku, betapa tawadhunya sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa salam dalam member fatwa atau menjawab pertanyaan, padahal mereka adalah manusia yang paling dalam ilmunya, paling banyak ittiba’nya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa salam , paling bersih hatinya, dan paling memahami agama islam. Maka lebih pantas lagi bagi kita untuk mengucapkan perkataan diatas ketika selesai menjawab pertanyaan tentang agama yang sifatnya ijtihadiyyah, karena sedikitnya ilmu danmutaba’ah kita, lemahnya iman dan kotornya hati kita serta sedikitnya pemahaman kita tentang islam. Para Sahabat mengatakan itu dalam rangka mensucikan syariat Allah dan Rasul-Nya dari kesalahan mereka dan kesalahan selain mereka ketika mereka berbicara tentang agama Allah dalam masalah-masalah ijtihadiyah[3]

                Demikian yang saya sampaikan. Kebenaran mutlak dari Allah, kesalahan pada tulisan ini berasal dari saya dan godaan syaithan. Alhamdulillah aladzi bi ni’matihi tatimus shalihaat.
malam hari Kos mas fahmi, Kocoran 12. Oktober 2010
Rahmat Ariza Putra
               

[1] Tafsir Ibnu Katsir 1/636, Maktabah Syamilah
[2] Tafsir Ibnu Katsir 2/12, Maktabah syamilah
[3] Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 33/41. Maktabah Syamilah

Comments

Anonymous said…
assalamualaikum wbt..
kepada mereka yang punya ilmu tolong saya yang jahil lagi hina ni..

saya pernah berzina dengan boifreind sy di bulan ramadhan..
sekarang saya menyesal.. menyesal sangat2..
tapi baru sekali je taubat nasuha..
saya sayang sangat2 dengan bf saya tapi saya takot kami kembali terlanjur saya ambil keputusan break dengan dia
dengan harapan kasih dan sayang dari NYA hadir dalam diri saya..dengan harapan tiada lagi kemurkaan ALLAH pada diri saya..
saya tak boleh duduk dengan tenang dan sesak nafas bila fikir maksiat yang paling terkutuk di muka bumi ni yakni zina
di bulan ramadhan pulak tu..

persoalannya..

saya dikenakan kafarah ke tak payah??
kalau kena saya kena puasa 2 bulan turut2 tanpa henti? kalau datang bulan mcm mana?
bagi makan 60 fakir miskin sampai kenyang??( kalau niat nak tangguh dulu boleh tak sampai saya betul2 saya stabil and cukup makan untuk diri saya dulu baru bg fakir miskin?)

perlukah taubat nasuha berterusan untuk orang yang hina mcm saya ni???
tolong beri penjelasan yang terbaik supaya dapat saya kembali menjadi muslimah sejati..