بسم الله الرحمٰن الرحيم
Segala puji disertai cinta dan pengagungan hanya hak dan milik Allah semata. Dzat yang Maha Adil lagi Maha Perkasa, Yang ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di alam semesta ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salam keluarga, sahabat dan pengikut beliau yang setia hingga akhir zaman. Sempat vakum beberapa hari merangkum faidah-faidah ilmu, dengan ijin Allah ta’ala malam ini akan saya tuliskan sedikit ilmu dan faidah fiqhiyyah yang saya dapatkan dari kajian guru kami tercinta Ustadz Aris Munandar. SS Hafidzhahullahu ta’ala.
Suami, ya itulah sebuah istilah dalam khasanah sastra Indonesia untuk menyebut seseorang lelaki yang telah mempersunting seorang wanita yang dia cintai untuk hidup bersama menjalin kehidupan rumah tangga. Rumah tangga bagaikan sebuah kapal dimana suami yang menjadi nahkodanya. Seperti layaknya seorang pemimpin, suamipun mempunyai beban tanggung jawab terhadap yang dia pimpin, yaitu istri dan anak. Salah satu dari sekian banyak kewajiban suami adalah nafkah, yang didalamnya tercakup nafkah lahir dan batin.
Terkadang dijumpai suami yang kurang bertanggung jawab atas nafkah istri dan juga anak-anaknya. Tentunya hal ini menimbulkan polemik bagi kehidupan rumah tangga. Lantas bagaimana islam mengajarkan dan memberi solusi terhadap masalah ini? Apakah islam mengajarkannya?. Ya tentu saja agama islam yang sempurna ini telah memberikan solusi yang paling solutif guna menyelesaikan permasalah ini, berikut pembahasannya.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya sebuah hadits dari salah seorang ibunda kaum muslimin Ummu Abdillah Aisyah bintu Abu Bakar Radhiallahu anhumma, beliau berkata:
دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ
Datang kepada Nabi Shalallahu alaihi wa salam Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan Radhiallahu anhumma, kemudian dia berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang sangat pelit. Dia tidak memberi nafkah dengan nafkah yang mencukupi kehidupanku dan anakku, kecuali jika nafkah itu kuambil tanpa sepengetahuan Abu Sufyan. Apakah aku berdosa karena melakukan perbuatan tersebut?. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda: ambilah nafkahmu dari harta Abu Sufyan secukupnya, yaitu sekadar apa yang mencukupi kebutuhan hidupmu dan anakmu (HR Muslim no 1814)
Faidah Hadits ini[1]
1. Wajib bagi seorang suami untuk menafkahi istri dan anak-anaknya yang miskin[2] dan masih kecil. Kesimpulan ini diambil berdasarkan perintah Nabi Shalallahu alaihi wa salam kepada Hindun untuk mengambil nafkah dari Abu Sufyan meskipun tanpa sepengetahuannya. Jika saja member nafkah adalah perkara yang sunnah atau mubah, maka tidak mungkin Rasulullah shalallahu alaihi wa salam memrintahkan Hindun mengambil nafkah dari Abu Sufyan secara sembunyi-sembunyi.
2. Kadar Nafkah yang diberikan suami kepada istri dan anaknya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup istri dan juga anak-anaknya yang pantas berdasarkan adat istiadat budaya setempat dengan menimbang kondisi keuangan suami.
3. Bolehnya mengatakan kejelekan seseorang kepada orang lain dalam rangka mengadukan kedzaliman atau memita fatwa dengan catatan tidak diniatkan untuk ghibah. Berdasarkan hadits diatas manakala Hindun mengadukan kedzaliman suaminya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa salam selaku pemimpin dan hakim. Agar Rasulullah shalallahu alaihi wa salam memberikan fatwa atas permasalahan yang dihadapinya. Maka hal inipun dapat dianalogikan untuk hal lain yang semisal. Contohnya pengakuan korban perampokan kepada polisi tentang kejelekan-kejelekan perampok, bagaimana perlakuan perampok saat mencuri atau yang lainnya
4. Berdasarkan hadits ini dapat disimpulkan diperbolehkan bagi seorang laki-laki mendengar suara perempuan yang bukan mahram karena suatu keperluan dengan catatan suara perempuan itu tidak dibuat mendayu-dayu. atau dengan kata lain suara perempuan bukanlah aurat yang haram didengar oleh selain mahramnya sebagaimana pendapat sebagian ulama.
5. Hadits ini menunjukkan bahwa Sahabat-Sahabat Rasulullah shalalalhu alaihi wa salam adalah manusia biasa yang juga melakukan kesalahan sehingga tidak pantas diibadahi. Akan tetapi keimanan, amal ibadah serta taubat mereka membuat kesalahan-kesalahan tersebut Allah hapuskan dan jadilah mereka sekolompok manusia yang diridhoi Allah dan dijanjikan menjadi penghuni surga. Dan kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah mencintai dan menghormati mereka dan tidak mencela serta mencaci mereka. Allahu a’lam
6. Hadits ini juga memberikan faidah bahwa al urf (kebiasaan masyarakat setempat) bisa dijadikan sandaran atau rujukan terhadap perkara-perkara yang syariat tidak membatasi atau mendefinisikannya dengan detail. Semisal kadar nafkah yang diberikan suami pada istri dan anaknya
7. Boleh bagi seseorang yang haknya berada ditangan orang lain sementara orang tersebut enggan memberikannya, mengambil haknya tersebut tanpa seijin atau sepengetahuan orang tersebut. Dengan catatan haknya tersebut adalah hak yang benar-benar nampak jelas sebagai miliknya, inilah pendapat terkuat dalam permasalah ini. Semisal gaji pekerja yang berada ditangan bosnya, atau nafkah istri yang berada ditangan suaminya. Allahu a’lam.
8. Hadist ini juga memberikan pelajaran kepada suami selaku makhluq yang dibebani Allah ta’ala nafkah anak dan istrinya, hendaknya dia tidak lalai dan pelit dari kewajiban tersebut. Jangan sampai kelalaian kita menafkahi istri menyebabkannya mendurhakai atau tidak memenuhi hak-hak suami, atau melaporkan hal itu kepada orang tua bahkan kepada hakim. Sungguh jika hal ini sampai terjadi adalah satu hal yang memalukan. padahal selaku mu’min kita diperintahkan untuk menjaga kehormatan dan memiliki rasa malu, dan rasa malu adalah 1 diantara sekian banyak cabang keimanan
Demikian catatang ringkas ini saya tuliskan. Semoga bermanfaat bagisaya pribadi dan segenap kaum muslimin yang membacanya. Ya Allah ajarkanlah kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan jadikanlah bermanfaat bagi kami apa yang telah engkau ajarkan, dan berilah kami tambahan ilmu. Alhamdulillah aladzi bi ni’matihi tatimush shalihaat.
Kamar Mungil dibelakang Al Ashri Pagi hari 6 oktober 2010.
Seorang muslim, anak dan mahasiswa
Rahmat Ariza Putra
[1] Faidah-faidaj ini saya ringkas dari kitab Taisir alam Syarah Umdatul Ahkam karya Syaikh Abdullah Ali Bassam Rahimahullahu ta’ala
[2] Untuk makna anak-anak yang faqir kami tanyakan kepada Ustadz Aris Munandar Hafidzhahullahu, apakah termasuk didalamnya anak-anak yang sudah besar lagi mampu mencari nafkah? Maka beliau menjawab, ya, dengan catatan orang tua mampu dan kelebihan harta dari apa yang menjadi kebutuhannya
Comments