Bismillah
Allah ta'ala berfirman:
"وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ"
Dan kami jadikan sebagian orang zalim itu sebagai teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan (Al An'am:29)
Demikian terjemah dari ayat ini yang banyak dijumpai pada mushaf yang beredar di Indonesia. Memang inilah salah satu tafsir kata "نُوَلِّي" yang tepat. Namun ada makna lain dari kata "نُوَلِّي" yang diutarakan Ulama tafsir. Pemimpin. Ya inilah versi lain dari takwil kata "نُوَلِّي".
Bila "نُوَلِّي" dimaknai dengan pemimpin, maka terjemah dari ayat itu sebagai berikut:
"Dan kami jadikan sebagian orang zalim itu pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan kezaliman dan maksiat yang mereka kerjakan"
Dengan pemaknaan ini, maka ayat ini merupakan dalil sunnatullah. Ketentuan Allah yang diistilahkan oleh para ulama dengan "Al Jaza' min jinsil amal". Balasan tergantung amal perbuatan.
Agar pemahaman terkait ayat ini lebih mendalam, mari simak uraian Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah ketika menjelaskan ayat ini
"Perhatikanlah hikmah Allah ta'ala yang menjadikan pemimpin, penguasa dan raja segenap hamba-Nya berdasarkan jenis amal yang mereka kerjakan. Bahkan seolah-olah penguasa adalah cerminan dari perbuatan rakyatnya.
Jika umat istiqomah berjalan diatas kebenaran maka demikian pula penguasanya. Jika masyarakat berlaku adil, maka yang memimpin mereka pun insan yang adil. Bila tipu daya dan makar tersebar dan dipraktekkan secara luas oleh rakyat, maka rajanya pun demikian -gemar menipu rakyatnya-.
Bila rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah, bakhil dalam mengeluarkan zakat dan enggan menunaikan kewajibannya sebagai hamba. Maka pemimpin yang menguasai mereka akan berlaku demikian terhadap mereka. Tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin dan enggan menunaikan hak-hak rakyat.
Andai rakyat mempraktekan hukum rimba. Dimana yang lemah diantara mereka diambil haknya secara paksa oleh yang kuat. Maka penguasa yang memimpin mereka akan berlaku serupa. Yakni mengambil harta rakyat secara zalim. Semakin keji pemeras menguras harta yang lemah. Semakin besar tekanan dan paksaan penguasa dalam rangka mengambil kekayaan rakyatnya tanpa alasan yang benar.
Para pemimpin adalah cerminan rakyat. Tidaklah memimpin orang zalim, gemar bermaksiat dan durhaka kepada Allah kecuali orang yang tidak adil dan tidak peduli dengan syariat Allah
Oleh karena generasi awal umat ini adalah sebaik-baik umat -dalam hal iman dan amal saleh- maka pemimpin mereka pun demikian (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali Radhiallahu anhum).
Ketika kondisi umat bercampur. Ada diantara mereka yang zalim, dan sebagian yang lain adalah orang baik. Maka pemimpin yang menguasai mereka pun bergilir -terkadang orang saleh, dilain waktu orang fasik-.
Berdasarkan hikmah Allah (Al Jaza' min jinsil amal, ed), maka tidak mungkin di zaman ini (masa Imam Ibnul Qayyim, ed) orang-orang saleh dan adil seperti Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin kita -karena kondisi umat secara umum berkubang dalam maksiat dan kezaliman- . Lebih mustahil lagi jika yang menguasai kita adalah insan semisal Abu Bakar dan Umar.
Pemimpin kita itu sesuai dengan kondisi kita. Dan penguasa orang-orang sebelum kita -para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in- sesuai dengan keadaan mereka (saleh, adil, tidak suka menipu sesama, tidak gemar bermaksiat, ed).
Sekian penuturan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Saya tidak ingin berpanjang lebar. Intinya bila kita berharap dikuasai oleh orang-orang saleh, adil dan jujur. Maka perbaiki kondisi kita agar menjadi rakyat yang saleh, tidak gemar menipu dan berdusta kepada sesama dan tidak menzalimi orang lain.
Sekian apa yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat
oret-oretan ini adalah hasil kajian kitab "Al Isbah fi Manhajil As Salaf" yang diampu oleh Ustadz Ari Munandar. SS. MPdI hafidzhahullah. Dengan tambahan dari Aisarut Tafasir karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi Hafidzhahullah
ditulis dalam keadaan tidak bisa tidur di kamar kos yang berantakan
Allah ta'ala berfirman:
"وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ"
Dan kami jadikan sebagian orang zalim itu sebagai teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan (Al An'am:29)
Demikian terjemah dari ayat ini yang banyak dijumpai pada mushaf yang beredar di Indonesia. Memang inilah salah satu tafsir kata "نُوَلِّي" yang tepat. Namun ada makna lain dari kata "نُوَلِّي" yang diutarakan Ulama tafsir. Pemimpin. Ya inilah versi lain dari takwil kata "نُوَلِّي".
Bila "نُوَلِّي" dimaknai dengan pemimpin, maka terjemah dari ayat itu sebagai berikut:
"Dan kami jadikan sebagian orang zalim itu pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan kezaliman dan maksiat yang mereka kerjakan"
Dengan pemaknaan ini, maka ayat ini merupakan dalil sunnatullah. Ketentuan Allah yang diistilahkan oleh para ulama dengan "Al Jaza' min jinsil amal". Balasan tergantung amal perbuatan.
Agar pemahaman terkait ayat ini lebih mendalam, mari simak uraian Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah ketika menjelaskan ayat ini
"Perhatikanlah hikmah Allah ta'ala yang menjadikan pemimpin, penguasa dan raja segenap hamba-Nya berdasarkan jenis amal yang mereka kerjakan. Bahkan seolah-olah penguasa adalah cerminan dari perbuatan rakyatnya.
Jika umat istiqomah berjalan diatas kebenaran maka demikian pula penguasanya. Jika masyarakat berlaku adil, maka yang memimpin mereka pun insan yang adil. Bila tipu daya dan makar tersebar dan dipraktekkan secara luas oleh rakyat, maka rajanya pun demikian -gemar menipu rakyatnya-.
Bila rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah, bakhil dalam mengeluarkan zakat dan enggan menunaikan kewajibannya sebagai hamba. Maka pemimpin yang menguasai mereka akan berlaku demikian terhadap mereka. Tidak mau menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin dan enggan menunaikan hak-hak rakyat.
Andai rakyat mempraktekan hukum rimba. Dimana yang lemah diantara mereka diambil haknya secara paksa oleh yang kuat. Maka penguasa yang memimpin mereka akan berlaku serupa. Yakni mengambil harta rakyat secara zalim. Semakin keji pemeras menguras harta yang lemah. Semakin besar tekanan dan paksaan penguasa dalam rangka mengambil kekayaan rakyatnya tanpa alasan yang benar.
Para pemimpin adalah cerminan rakyat. Tidaklah memimpin orang zalim, gemar bermaksiat dan durhaka kepada Allah kecuali orang yang tidak adil dan tidak peduli dengan syariat Allah
Oleh karena generasi awal umat ini adalah sebaik-baik umat -dalam hal iman dan amal saleh- maka pemimpin mereka pun demikian (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali Radhiallahu anhum).
Ketika kondisi umat bercampur. Ada diantara mereka yang zalim, dan sebagian yang lain adalah orang baik. Maka pemimpin yang menguasai mereka pun bergilir -terkadang orang saleh, dilain waktu orang fasik-.
Berdasarkan hikmah Allah (Al Jaza' min jinsil amal, ed), maka tidak mungkin di zaman ini (masa Imam Ibnul Qayyim, ed) orang-orang saleh dan adil seperti Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin kita -karena kondisi umat secara umum berkubang dalam maksiat dan kezaliman- . Lebih mustahil lagi jika yang menguasai kita adalah insan semisal Abu Bakar dan Umar.
Pemimpin kita itu sesuai dengan kondisi kita. Dan penguasa orang-orang sebelum kita -para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in- sesuai dengan keadaan mereka (saleh, adil, tidak suka menipu sesama, tidak gemar bermaksiat, ed).
Sekian penuturan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Saya tidak ingin berpanjang lebar. Intinya bila kita berharap dikuasai oleh orang-orang saleh, adil dan jujur. Maka perbaiki kondisi kita agar menjadi rakyat yang saleh, tidak gemar menipu dan berdusta kepada sesama dan tidak menzalimi orang lain.
Sekian apa yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat
oret-oretan ini adalah hasil kajian kitab "Al Isbah fi Manhajil As Salaf" yang diampu oleh Ustadz Ari Munandar. SS. MPdI hafidzhahullah. Dengan tambahan dari Aisarut Tafasir karya Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi Hafidzhahullah
ditulis dalam keadaan tidak bisa tidur di kamar kos yang berantakan
Comments