Panili muda dan tua |
Kisah
klub super kaya Liga Seri A itu, secara kebetulan juga terjadi pada Vanesha, eh
Vanila Indonesia. Puluhan tahun menjadi primadona hingga disebut emas hijau
khatulistiwa karena sekilo dibandrol berjuta-juta, dalam beberapa tahun saja
(sekitar 2004-2007) nilai jual planifolia bagai kamu yang tak kunjung wisuda di hadapan calon
mertua, hancur tak berharga. Usut punya usut ini terjadi bukan karena panen
raya seperti cabai dan bawang di musim ketiga, tapi kejahatan tengkulak,
kelalaian pemerintah dan kesalahan petani Indonesia yang dahulu dibiarkan tanpa
perbaikan bertahun-tahun lamanya.
Jengah
dikirimi polong minim vanillin yang sengaja dioplos lidi, kawat dan paku,
akhirnya para raja (baca: konsumen) berkata seperti dia yang terus kamu bohongi,
“kita cukup sampai di sini!”. Kehilangan pembeli utama dan ketiadaan
pelanggan besar dalam negeri membuat panili mati tidak bersuri. Sejak diputus
kontrak, lebih dari 5 tahun lamanya, harga panili seperti tumpukan kertas revisi.
Murah sekali karena sangat sedikit (baca: tidak ada) konsumen yang peduli.
Seperti melamar sarjana tanpa SK pekerjaan yang bisa disekolahkan, dampak negatif
porak porandanya harga panili sungguh luar biasa. Jutaan pokok tanaman panili habis
dibabat. Ribuan hektar tambang emas hijau rusak tidak terawat. Ujungnya, para petani
rugi besar dan sekarat.
Tokoh dan Peran Trisula Pembunuh
Panili.
Ujung
tombak pertama dan paling nista yang menusuk panili hingga tak bernyawa adalah
mucikari (baca: tengkulak) yang rangkap jabatan menjadi penipu petani, pecuri tandan
dan pengoplos panili. Betul, ketiga jenis tindakan asusila ini secara simultan
dilakukan penjahat-penjahat itu. Modus operasi sang pelacur begitu terpadu dari
hulu hingga hulir. Persis seperti penculik yang menculik, mengintimidasi,
memeras, lalu membunuh korbannya. Sebegitu geramnya kami, hingga andai saja
menjadi hakim tidak perlu sekolah, maka para petani dan penggiat panili sejati
tentu dengan senang hati mengadili lalu mengeksekusi mati manusia-manusia tidak
berhati ini.
Sesaat
setelah musim bunga tiba, para durjana itu segera menyisir sentra-sentra panili
merayu petani agar secepatnya setelah polong memanjang (4-5 bulan setelah
dikawinkan) segera memanen dan menjual hanya kepada mereka. Diiming-imingi 1
atau 2 lembar biru dan merah, mayoritas petani yang belum memahami akan turuti
bisikan si sengkuni. Sedangkan sisa praktisi yang bertahan dengan panen tua[1], tidak
jarang merugi akibat pencuri[2]. Lambat
laun pendirian mereka yang telah mengerti panili berkualitas tinggi luntur dilapuk
pertimbangan materi. Daripada menunggu kadar asam vanillin meninggi tapi rawan
dirampoki, lebih baik panen saat panili masih bayi. Mungkin kamu bertanya, kenapa
tengkulak tidak sabar menanti hingga panili benar-benar jadi baru kemudian dibeli.
Prinsipnya sesederhana spekulasi. Kalau
bisa dapat barang saat ini ketika harga sangat tinggi, kenapa harus menunggu
nanti. Persis Angela bukan. Jika hasil 1 atau 2 jam kencan bisa dipakai buat
bayar cicilan, kenapa harus capek-capek menekuni seni peran.
Tanpa
hambatan, seiring tahun berganti, panili dalam negeri semakin didominasi polong
tidak berisi (baca: minim kadar asam panilin). Seakan mengibuli adalah jati
diri, panili-panili seadanya seperti nilai-nilai matkul statistika itu masih
juga disisipi paku, kawat, atau lidi oleh bandit-bandit itu. Ini dilakukan
tidak lain untuk menaikkan bobot polong yang akan dipasarkan. Secara sistematis
dan berkelanjutan dari titik ke titik penjahat itu giat membeli panili muda lalu mengoplosnya hingga berhasil mengumpulkan
bergudang-gudang sesuatu yang bahkan tidak layak disebut panili.
Setelah mencukupi
jumlah pesanan, hasil kejahatan itu selanjutnya dimasukkan ke dalam peti kemas
untuk dikirimkan kepada konsumen yang sangat percaya bahwa apa yang ada di
dalamnya adalah benar-benar emas. Ketika tiba waktunya barang diterima, kaboom,
selebihnya adalah sejarah yang membuat berjuta harapan patah. Mari berkhayal,
seandainya kita adalah mereka yang telah membayar ratusan dolar atau euro (jutaan
rupiah) untuk sekilo aroma candu panili namun yang didapat tak lebih dari serat
hitam berisi kawat besi tanpa fungsi. Tidak perlu belajar dari Dian Sastro,
secepatnya pasti akan berucap, “yang kamu lakukan padaku itu jahat!”.
Selanjutnya akan dipungkasi tragedi kisah milea dan dilan, putus
.
Sampai
di sini, apakah kamu sudah mulai menyimpulkan bahwa semuanya adalah salah tengkulak.
Jika seperti itu asumsi yang, maka penulis rasa ada yang lupa bahwa pemerintah
juga punya investasi dosa di sini. Sebagai pembuat dan penegak regulasi,
harusnya mereka melakukan tindakan proteksi, baik kepada petani atau yang beli.
Tapi apa daya, mereka yang bertahta di Jakarta memilih talk more do less membela praktisi. Tak ubahnya seumpama aktivis di
kampus kami, miskin kerja kaya wacana. Ups, satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh dan
seterusnya juga ada lho oknum yang double
degree, penyusun regulasi sekaligus bergelar mucikari.
Aktor
terakhir adalah petani yang penulis pribadi beropini bahwa para praktisi
sejatinya adalah korban yang hak-haknya dimutilasi. Mereka yang dahulu sering
panen muda umumnya adalah mereka yang belum memahami. Sungguh tidak sampai hati kami memperpanjang
narasi masa lalu itu mengingat Allah juga menggariskan bahwa
seseorang yang tidak mengerti tidak layak dihakimi. Semoga mulai dari sekarang saat panili kembali menapaki jalan menuju tahta jawara
hingga di masa yang akan depan, para petani vanili memegang prinsip suci
profesi dan anti menipu pengkonsumsi. Stop panen muda, hanya menjual panili
tua.
[1]
polong yang dibiarkan hingga menguning di usia 7-10 bulan memiliki kadar asam vanillin
tinggi (2-3%). Sebaliknya, panili yang dipanen dengan usia di bawah 7 bulan,
memiliki kadar asam panilin yang sangat rendah (<1 1="" p="">
1>
[2]
Jamak terjadi, pencuri panili adalah para tengkulak atau orang suruhan mereka .
Comments