Sejarah Trisula Penghancur Panili Indonesia


              
Panili muda dan tua


                Pada tahun 2006 dan sebelumnya, Juventus adalah juara liga yang sangat digdaya. Setelah skandal calciopoli terungkap, semuanya sekejap sirna. Setelah bertahun-tahun wasit, official dan pemain secara culas merekayasa skor pertandingan, seumpama kasus 80 juta, kejahatan itu berakhir nestapa. Usaha menjadi jaya mau tak mau berujung sebaliknya.  Akibat ulah 3 ujung tombak pertandingan sepak bola Italia, banyak tim  termasuk  Sang Nona Tua jatuh nista dalam duka karena pencabutan tahta lalu turun kasta selevel dengan klub-klub semenjana.   

                Kisah klub super kaya Liga Seri A itu, secara kebetulan juga terjadi pada Vanesha, eh Vanila Indonesia. Puluhan tahun menjadi primadona hingga disebut emas hijau khatulistiwa karena sekilo dibandrol berjuta-juta, dalam beberapa tahun saja (sekitar 2004-2007) nilai jual planifolia bagai kamu yang tak kunjung wisuda di hadapan calon mertua, hancur tak berharga. Usut punya usut ini terjadi bukan karena panen raya seperti cabai dan bawang di musim ketiga, tapi kejahatan tengkulak, kelalaian pemerintah dan kesalahan petani Indonesia yang dahulu dibiarkan tanpa perbaikan bertahun-tahun lamanya. 

                Jengah dikirimi polong minim vanillin yang sengaja dioplos lidi, kawat dan paku, akhirnya para raja (baca: konsumen) berkata seperti dia yang terus kamu bohongi, “kita cukup sampai di sini!”. Kehilangan pembeli utama dan ketiadaan pelanggan besar dalam negeri membuat panili mati tidak bersuri. Sejak diputus kontrak, lebih dari 5 tahun lamanya, harga panili seperti tumpukan kertas revisi. Murah sekali karena sangat sedikit (baca: tidak ada) konsumen yang peduli. Seperti melamar sarjana tanpa SK pekerjaan yang bisa disekolahkan, dampak negatif porak porandanya harga panili sungguh luar biasa. Jutaan pokok tanaman panili habis dibabat. Ribuan hektar tambang emas hijau rusak tidak terawat. Ujungnya, para petani rugi besar dan sekarat. 

Tokoh dan Peran Trisula Pembunuh Panili. 

                Ujung tombak pertama dan paling nista yang menusuk panili hingga tak bernyawa adalah mucikari (baca: tengkulak) yang rangkap jabatan menjadi penipu petani, pecuri tandan dan pengoplos panili. Betul, ketiga jenis tindakan asusila ini secara simultan dilakukan penjahat-penjahat itu. Modus operasi sang pelacur begitu terpadu dari hulu hingga hulir. Persis seperti penculik yang menculik, mengintimidasi, memeras, lalu membunuh korbannya. Sebegitu geramnya kami, hingga andai saja menjadi hakim tidak perlu sekolah, maka para petani dan penggiat panili sejati tentu dengan senang hati mengadili lalu mengeksekusi mati manusia-manusia tidak berhati ini. 

                Sesaat setelah musim bunga tiba, para durjana itu segera menyisir sentra-sentra panili merayu petani agar secepatnya setelah polong memanjang (4-5 bulan setelah dikawinkan) segera memanen dan menjual hanya kepada mereka. Diiming-imingi 1 atau 2 lembar biru dan merah, mayoritas petani yang belum memahami akan turuti bisikan si sengkuni. Sedangkan sisa praktisi yang bertahan dengan panen tua[1], tidak jarang merugi akibat pencuri[2]. Lambat laun pendirian mereka yang telah mengerti panili berkualitas tinggi luntur dilapuk pertimbangan materi. Daripada menunggu kadar asam vanillin meninggi tapi rawan dirampoki, lebih baik panen saat panili masih bayi. Mungkin kamu bertanya, kenapa tengkulak tidak sabar menanti hingga panili benar-benar jadi baru kemudian dibeli. Prinsipnya  sesederhana spekulasi. Kalau bisa dapat barang saat ini ketika harga sangat tinggi, kenapa harus menunggu nanti. Persis Angela bukan. Jika hasil 1 atau 2 jam kencan bisa dipakai buat bayar cicilan, kenapa harus capek-capek menekuni seni peran. 

                Tanpa hambatan, seiring tahun berganti, panili dalam negeri semakin didominasi polong tidak berisi (baca: minim kadar asam panilin). Seakan mengibuli adalah jati diri, panili-panili seadanya seperti nilai-nilai matkul statistika itu masih juga disisipi paku, kawat, atau lidi oleh bandit-bandit itu. Ini dilakukan tidak lain untuk menaikkan bobot polong yang akan dipasarkan. Secara sistematis dan berkelanjutan dari titik ke titik penjahat itu giat membeli panili muda lalu mengoplosnya hingga berhasil mengumpulkan bergudang-gudang sesuatu yang bahkan tidak layak disebut panili.

Setelah mencukupi jumlah pesanan, hasil kejahatan itu selanjutnya dimasukkan ke dalam peti kemas untuk dikirimkan kepada konsumen yang sangat percaya bahwa apa yang ada di dalamnya adalah benar-benar emas. Ketika tiba waktunya barang diterima, kaboom, selebihnya adalah sejarah yang membuat berjuta harapan patah. Mari berkhayal, seandainya kita adalah mereka yang telah membayar ratusan dolar atau euro (jutaan rupiah) untuk sekilo aroma candu panili namun yang didapat tak lebih dari serat hitam berisi kawat besi tanpa fungsi. Tidak perlu belajar dari Dian Sastro, secepatnya pasti akan berucap, “yang kamu lakukan padaku itu jahat!”. Selanjutnya akan dipungkasi tragedi kisah milea dan dilan, putus
.
                Sampai di sini, apakah kamu sudah mulai menyimpulkan bahwa semuanya adalah salah tengkulak. Jika seperti itu asumsi yang, maka penulis rasa ada yang lupa bahwa pemerintah juga punya investasi dosa di sini. Sebagai pembuat dan penegak regulasi, harusnya mereka melakukan tindakan proteksi, baik kepada petani atau yang beli. Tapi apa daya, mereka yang bertahta di Jakarta memilih talk more do less membela praktisi. Tak ubahnya seumpama aktivis di kampus kami, miskin kerja kaya wacana.  Ups, satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh dan seterusnya juga ada lho oknum yang double degree, penyusun regulasi sekaligus bergelar  mucikari. 

                Aktor terakhir adalah petani yang penulis pribadi beropini bahwa para praktisi sejatinya adalah korban yang hak-haknya dimutilasi. Mereka yang dahulu sering panen muda umumnya adalah mereka yang belum memahami.  Sungguh tidak sampai hati kami memperpanjang narasi  masa lalu itu mengingat Allah juga menggariskan bahwa seseorang yang tidak mengerti tidak layak dihakimi. Semoga mulai dari sekarang saat panili kembali menapaki jalan menuju tahta jawara hingga di masa yang akan depan, para petani vanili memegang prinsip suci profesi dan anti menipu pengkonsumsi. Stop panen muda, hanya menjual panili tua.
               


[1] polong yang dibiarkan hingga menguning di usia 7-10 bulan memiliki kadar asam vanillin tinggi (2-3%). Sebaliknya, panili yang dipanen dengan usia di bawah 7 bulan, memiliki kadar asam panilin yang sangat rendah (<1 1="" p="">
[2] Jamak terjadi, pencuri panili adalah para tengkulak atau orang suruhan mereka .

Comments