Madagascar memang negara yang sangat lamban berkembang. Jaringan listrik, air, jalan dan jembatan belum tersebar sebanyak jari kaki dan tangan. Pembangunan termasuk di sektor pendidikan kurang sekali mendapat perhatian. Akibatnya, peradaban negara yang hanya seluas Nusa Tenggara ini cukup jauh tertinggal di belakang bangsa-bangsa se-zaman.
Jika fondasi-fondasi penopang utama kemajuan saja sedemikian tertinggal, maka tidak heran kalau masalah sanitasi dan kebersihan tidak dianggap sebuah persoalan. Di Madagascar, tidak banyak rumah-rumah di kota atau pedesaan yang memiliki WC khusus untuk buang kotoran. Fasilitas publik pun serupa demikian. Boro-boro bangun tempat "persemedian", uang hasil kerja tentu lebih utama untuk beli makan.
Akhir pilihan bagi warga lokal adalah buang hajat di sekitar lingkungan. Di semak belukar mana saja asal bukan jalur lalu-lalang, kamu bisa temui sisa-sisa pencernaan yang ditutupi pasir atau dedaunan. Dengan mata kepala sendiri pernah penulis dapati serombongan penumpang mobil turun menepi menuju tumbuhan perdu untuk buang air seni
Meski demikian, bukan berarti tidak ada pelajaran dari kebiasaan orang sini yang cukup menjijikkan. Tidak semua tempat yang diciptakan Tuhan adalah titik pembuangan. Ada satu lokasi larangan yang pantang dijadikan jamban. Itulah sungai dan danau cerukan
Fakta di atas didukung pengalaman selama 3 hari menyusuri sungai Malagasi, di mana selama perahu berlayar, belum seekor lele kuning mengambang penulis temui. Usut punya selidik kepada seorang pekerja, rupanya penduduk lokal menyadari arti penting air sebagai sumber kehidupan. Bagi mereka, mencemari bahan baku makanan atau minuman adalah sebenar-benar pantangan. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran kolektif akan usaha menjauhkan sungai dari tinja, sumber penyakit yang menyusahkan, betul-betul merata hidup kemudian dipraktikkan.
Lagi-lagi, sebagai bangsa yang kini lebih maju, +62 perlu meniru saudara jauh yang terpisah KM beribu-ribu tentang bagaimana menjaga sumber air yang tak pernah baru. Dia diperlakukan begitu istimewa sampai-sampai di kehidupan yang serba susah tidak membuat Malagasi buang hajat pakai cara mudah seperti kamu yang suka gunakan sungai sebagai tempat sampah.
Mengulang klausa yang penulis suka di seri pertama, apa guna menjadi lebih terdidik dan berdaya, kalau menjadi semakin berbudaya terhadap air sebagai sumber daya saja tidak bisa.
Yakin saja, Indonesia bisa jauhkan segala bentuk limbah diantaranya air seni atau tinja nista dari aliran atau genangan H2O2, yang suatu saat nanti pasti menjadi pelepas dahaga aku, kamu dan kita. Terlebih di Nusantara, sarana sanitasi toilet dan WC di pemukiman, bangunan swasta atau fasilitas yang dibangun pemerintah terus bertambah melimpah.
Demikian tulisan refleksi ketiga untuk Nusantara dari Rahmat Ariza di Bumi Afrika.
Comments