Siang tadi usai praktik membuat pupuk alami berbahan lokal disertai diskusi membahas penyemaian dan nutrisi tanaman, saya berbincang dengan sosok dalam foto di atas. Pria kelahiran Malang 45 tahun yang lalu ini biasa saya sapa Pak Agus. Petani sayur di Desa Sibau Hulu, 10 km sebelah utara Kota Putussibau. |
Dalam obrolan tersebut, ia bernarasi tentang alur kehidupan yang mengantarkannya ke daerah terluar, terdepan dan tertinggal bernama Kapuas Hulu. Suka duka bekerja di perusahaan sawit hingga ditipu teman tak luput dikisahkan olehnya. Termasuk pula pengalaman 2 tahun terakhir bercocok tanam sayur untuk menghidupi keluarga. |
Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah berladang. Profesi ini bermodal coba-coba dan belajar sambil menjalani laku tani. Lelaki dengan tiga anak ini mengaku bahwa pengetahuannya tentang pertanian amat terbatas. Nutrisi dan fisiologi tanaman hingga pengendalian hama terpadu cukup asing baginya. Berangkat dari ketidaktahuan itu, tak heran jika usahanya cukup sering berujung buntu. |
Untuk memperbaiki perekonomian rumah tangga, selain terus bertani, menurut tuturnya, ia sering berdoa agar Allah memberikanya kasih sayang berupa jalan keluar, yang dalam Bahasa Arab disebut Rahmat. Sambil berkelakar tanda syukur, kepada saya ia berkata "Kulo nyuwun diparingi Rohmat, eh malah njok ditekoni mas Rahmat, udu Teguh utowo Paijo, Alhamdulillah". Kaget, saya ikut tertawa. Dalam hati saya pun bermunajat, mudah-mudahan kami berdua bisa bertumbuh bersama
Comments