Beberapa minggu belakangan ini, saya sering membersamai sebuah rumah tangga yang tinggal di Desa Sibau Hulu, Kecamatan, Putussibau, Kapuas Hulu. Famili yang oleh Chayanov (1966) atau Shanin (1973) termasuk dalam kategori Keluarga Petani (Peasant) di mana aktivitas produksi pertanian dan peternakan menjadi sumber mata pencaharian utama dan melibatkan seluruh anggota keluarga produktif yang tidak diupah.
Rumah tangga tersebut dipimpin oleh seorang bapak berusia 45 tahun bernama Agus. Berturut-turut anggota keluarga ini adalah Diah (istri; 35), Sifa (anak: 15), Aziz (anak; 9) dan Abdul (anak:5). Sehari-hari, sejak 2 bulan terakhir, Pak Agus, Bu Diah, dan Sifa membudidayakan serta memasarkan sayur di ladang yang telah dibuka di samping rumah seluas 5000 M2. Di samping itu, masih terdapat peliharaan ternak berupa ayam dan kambing yang dipelihara untuk mencukupi kebutuhan protein serta sebagai tabungan
Meskipun menanam beberapa komoditas dan memiliki ternak, keluarga ini, berdasarkan identifikasi dan observasi langsung yang saya kerjakan, belum tergolong berdaya. Keberdayaan yang berpatokan pada kemampuan kolektif ayah, ibu dan anak berproduksi untuk memenuhi anggaran belanja harian, bulanan dan tahunan. Kesimpulan ini dapat ditarik dari fenomena besar pasak daripada tiang yang menjadi permasalahan bulanan. Bukan karena mereka boros tapi sebab banyak potensi dan sumber daya rumah tangga dan lingkungan yang belum dikelola secara optimal.
Untuk mewujudkan keberdayaan holistik keluarga, ada beberapa aspek yang perlu dicermati. Identifikasi masalah pengelolaan sumber daya rumah tangga dan lingkungan sekitar serta pembagian tugas antara bapak, ibu dan buah hati sesuai dengan karakter serta kemampuang masing-masing. Dalam rangka menjelaskan perkara ini, saya akan mendeskripsikan rutinitas mereka.
Setiap hari, Pak Agus, Bu Diah, dan Sifa selalu berladang. Jika tidak sedang mengolah lahan, memupuk tanaman dan mengendalikan hama serta gulma, sang suami dan anak biasa mencari pakan untuk ternak. Kecuali aktivitas mencangkul dan membuat bedengan, si istri sendiri juga punya kebiasaan yang tidak jauh berbeda di luar pekerjaan domestik serta menjual hasil panen ke pasar. Pilihan tanaman, jadwal tanam dan panen setiap anggota keluarga jua serupa; timun, oyong, pare, labu, kangkung dan bayam. Tidak ada sama sekali segregasi dan pengaturan yang memungkinkan pendapatan harian, bulanan, serta tahunan dapat diperoleh secara harmoni dan berkelanjutan.
Sering terjadi dalam satu periode, keluarga ini memperoleh pendapatan dalam jumlah banyak karena panen di beberapa petak serentak. Timun yang ayah tanam, pare hasil jerih payah anak serta labu karya ibu dipasarkan secara bersamaan. Tentu kesudahan tersebut akan menyenangkan jika tidak ada gagal tanam.Y
Yang jadi persoalan adalah acapkali pertumbuhan dan hasil sayur yang dirawat ibu tidak optimal karena kesibukan rumah tangga lain serta teknik budidaya yang relatif sulit sehingga kurang terjangkau baginya. Di sisi lain, fokus sumber daya waktu, tenaga dan dana yang sama-sama terbatas dan dikelola pak Agus atau Sifa juga turut terserap untuk merawat tanaman anggota keluarga yang lain. Pada satu titik tertentu, pembagian pekerjaan yang kurang baik dan perencanaan yang kurang diserasikan dengan kemampuan individu berujung pada gagal panen yang berbarengan.
Dalam rangka mengatasi kesulitan tersebut, malam tadi, usai agenda buka bersama, saya mengusulkan konsep tanam dan panen harian, bulanan dan tahunan di mana hasil yang diperoleh pada masing-masing jangka waktu itu akan digunakan untuk memenuhi pengeluaran pada periode tersebut.
Tanam dan panen harian, dalam kasus ini, akan dikerjakan oleh ibu. Komoditas yang dipilih adalah bayam, kangkung kemudian sawi. Lahan yang diusahakan tidak banyak dan luas. Cukup 63 petak masing-masing seluas 1 M2 yang secara bergantian dikerjakan sepanjang tiga pekan. Pertama-tama, Bu Diah menyebar benih bayam atau kangkung di atas 3 kotak ladang. Dua hari berikutnya, 3 petak yang lain giiliran ditanam. Begitu seterusnya hingga di hari ke 21, 3 kotak terakhir akhirnya berisi tanaman.
Demi penghematan dan keselarasan dengan kebutuhan hara kangkung atau bayam yang tidak begitu banyak, nutrisi tanaman seluruhnya diracik sendiri dari bahan baku limbah atau sumber lokal. Limbah kulit nanas dari pasar, sampah organik rumah tangga, kotoran kambing dimanfaatkan sebagai pupuk dasar. Sementara air kelapa, cucian beras, buah maja, cacahan batang pisang, ganggang, hingga limbah jeroan rumah potong hewan diolah menjadi suplemen cair tambahan dengan metode fermentasi.
Jadwal serta metode budidaya yang demikian diharapkan tidak memberatkan ibu rumah tangga dan di saat yang sama mampu menghasilkan pendapatan signifikan, Dari aspek pengelolaan, gaya berladang ini tidak menguras banyak waktu dan tenaga. Menanam 3 petak, memanen dari jumlah kotak yang sama serta menyirami tanaman paling banyak sejumlah 12 petak kecil hanya menghabiskan waktu selama 150 menit per hari yang dapat dicicil 1.5 jam di pagi dan 1 jam di sore. Sementara ditinjau dari sisi ekonomi, di hari ke 21, sang istri memperoleh 100-150 ikat sayur dari 3 petak pertama. Jika setiap petak dipanen sebanyak 2 kali, maka tanpa putus ia dapat memperoleh Rp. 100.000 – Rp. 150.000 per hari dari kangkung atau bayam yang setidaknya dihargai minimal Rp.2.000/ikat.
Pendapatan sejumlah 3 – 4,5 juta rupiah per bulan yang dipotong hanya untuk modal benih kangkung dan bayam selanjutnya dapat dikonsumsi oleh yang bersangkutan untuk makan, jajan, sabun, gas, bumbu, gula, teh, kopi hingga bahan bakar operasional. Sisanya disimpan sebagai tabungan. Inilah sumber pemasukan harian yang saya kemukakan bagi Pak Agus dan keluarga.
Selanjutnya adalah pendapatan bulanan. Pundi-pundi rupiah yang digunakan untuk membiayai pengeluaran seperti modal tanam, BPJS, listrik, kredit motor, hingga pulsa dapat diusahakan melalui budidaya timun, pare, gambas, tomat, kubis, bunga kol, kacang panjang hingga cabai. Pelakunya tentu saja bapak dan anak yang memiliki tenaga, waktu serta pengetahuan yang lebih mendalam terkait cocok tanam komoditas berumur dan berpanen panjang.
Baik Pak Agus dan Sifa, berturut-turut mengelola lahan seluas 2500 M2 dan 1500 M2 yang masing-masing dibagi untuk 2 komoditas dari kelompok yang berbeda untuk meminimalisir kegagalan akibat penyakit dan hama. Dalam praktiknya, saya usulkan, di awal bulan, 1000 M2 ladang pertama ditanami timun. 7 hari berselang, giliran 500 M2 selanjutnya yang diisi kubis atau bunga kol. Sepekan kemudian 0.1 Ha petak yang lain dijadikan ladang kacang panjang atau buncis. Di pekan keempat, 1500 M2 terakhir ditanami pare, gambas atau timun kembali.
Dengan pola tanam tersebut, di awal bulan kedua, keluarga ini mulai memanen timun. Tidak lama kemudian menyusul kacang panjang lalu kubis dan gambas atau pare. Jika paling tidak 3 dari 4 jenis sayur tersebut sukses dibudidayakan, tidak kurang dari 6-7 juta rupiah mampu diamankan setiap bulan sepanjang tahun. Setelah digunakan untuk mengembalikan fulus pinjaman belanja sarana produksi pertanian, uang yang diperoleh dimanfaatkan untuk anggaran belanja bulanan. Sisanya dialihkan ke tabungan keluarga untuk dana darurat, akuisisI asset atau modal tanam tahunan.
Terakhir adalah tanam dan panen tahunan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pendaftaran sekolah, pengembangan sumber daya dan pengeluaran per 12 bulan lainnya. Pembiayaan untuk serba-serbi kebutuhan di atas dapat disokong dari budidaya tanaman nanas, empon-empon (jahe, kunir, laos, temulawak) atau kambing.
Di sekeliling ladang atau lahan-lahan tidur milik warga yang belum termanfaatkan, keluarga ini dapat bercocok tanam komoditas di atas yang minim perawatan. Bermodal uang yang disisihkan dari pendapatan bulanan, Pak Agus dan Sifa bisa menanam salah satu atau kedua-duanya. Jika tidak, dana yang ada digunakan untuk memperbanyak kambing yang laku dijual di musim qurban setiap tahunnya.
Bila ketiga kelompok usaha tersebut serta alokasi dana dikelola dengan disiplin dan tertib, berdasarkan kalkulasi, dalam setahun, keluarga petani yang saya dampingi ini, insya Allah, akan berdaya. Bukan hanya secara parsial, tapi menyeluruh. Tidak lagi bergantung pada sumber daya dari luar untuk menghidupi keseharian atau belanja modal. Kalau sudah begini, tiang akan lebih kokoh menjulang ketimbang pasak yang dibenamkan.
Comments