September 2023 adalah awal perjumpaan saya selaku fasilitator dengan dengan kelompok tani di sentra bawang merah Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul. Ketika itu, saya diminta oleh Mas Faisol, fasilitator program penataan akses reformas agraria BPN Bantul, untuk terlibat dalam penyelenggaraan sekolah tani di sana.
Di pertemuan tersebut, saya mengidentifikasi kelompok tani Lestari Mulyo yang merupakan subjek penerima manfaat program BPN adalah lembaga terkenal. Banyak instansi pemerintah atau swasta yang telah menyalurkan program pemberdayaan kepada mereka. Seperti tidak ada habisnya silih berganti setiap tahun dan sepanjang musim. Meniru celoteh para peserta, Selopamioro adalah idola bagi semua.
Karena difavoritkan oleh banyak pihak, tidak terhitung dukungan yang mengalir ke tempat ini. Yang kentara saat saya mulai beraktivitas di sana adalah bantuan bibit bawang merah asal biji (True Shallot Seed), green house pembibitan, gedung pasca panen dan mesin sortasi dari Bank Indonesia, agenda listrik masuk lahan pertanian dari PLN, branding sentra bawang merah glowing dari BPD DIY, aneka infrastruktur jalan dan alat mesin pertanian dari pertanian atau pekerjaan umum, dan beragam kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya petani dari perguruan tinggi dan lembaga riset.
Di samping itu, Dusun Nawungan 1 dan 2 yang berada di desa tersebut pun terkenal sebagai rujukan belajar petani dan dinas terkait dari berbagai daerah. Di musim-musim pencairan dana APBD, beragam kelompok tani dan UPTD pendampingnya berkunjung untuk mempelajari dan meneladani kisah sukses petani bawang merah di sana. Pejabat daerah dan pusat juga sering mengadakan seremoni berupa acara panen bersama atau sekedar saresehan bersama.
Yang lebih istimewa lagi, ketua kelompok tani Lestari Mulyo, Bapak Jurianto, adalah penerima anugerah Kalpataru dari Kementringan Lingkungan dan Kehutanan. Penghargaan ini merupakan wujud apresiasi atas kerja kolektif petani di sana. Mereka berhasil mengubah kawasan l pertanian di perbukitan Imogiri yang sebelumnya hanya produktif di musim penghujan menjadi lahan yang prod sepanjang tahun dengan hadirnya embung-embung mini hasil usaha swadaya masyarakat.
What am I supposed to do?
Dengan latar belakang yang bertabur prestasi dan sejarah panjang perjuangan penduduk Selopamioro, tentu tidak salah kalau saya berasumsi bahwa ilmu mereka adalah masyarakat agraris yang kaya ilmu. Rasa-rasanya, jika saya diminta berbagi tentu seperti berupaya menggarami lautan. Bukan saya yang perlu memberi, tapi justru harus banyak menggali inspirasi dari para petani.
Semakin banyak informasi yang dikorek, saya semakin merasa kerdil jika harus berdiri di depan mereka menjelaskan sedikit materi yang dikuasai. Perasaan itu menjadi-menjadi ketika salah seorang peserta diskusi menyebutkan nama-nama profesor, doktor, praktisi yang pernah menjadi guru pendamping di tempat ini. “Ah kayaknya kok tidak pantas sama sekali kalau disejajarkan dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai pemateri,” batin saya dalam hati.
Sembari meyakinkan diri sendiri, Mas Qomar, salah satu pendiri Sekti Muda, yang mengajak saya terlibat dalam agenda tersebut kemudian tetap mendorong saya. “Rapopo maju, sampaikan saja apa yang ada di slide presentasi”, bisiknya menguatkan. Walau minder masih bekecamuk di dada, saya kemudian mencoba memulai pertemuan pertama dengan perkenalan diri dan sebuah pertanyaan yang menjadi pembuka keseruan-keseruan yang hingga saat ini masih saya rasakan.
Demi Anak Cucu
“Apakah bapak-ibu bercita-cita mewarisi tanah pertanian Selopamioro yang subur atau hancur kepada anak-cucunya?”, tanya saya. Tidak ada satupun yang menimpali dengan kalimat berbeda. “Kami pilih yang pertama,” respon mereka dengan kompak. Jawaban ini sangat berbeda dengan petani sub-urban di kawasan Sleman yang tidak punya harapan memiliki keturunan menjadi petani di masa datang. “Yang penting sekarang saja mas, anak-anak tidak ada yang mau jadi petani, kalau saya mati nanti paling warisan tanah saya akan dijual,” cerita salah seorang petani peserta sekolah tani di utara kota Jogja.
Mungkin karena letak geografi yang jauh dari pusat ekonomi di perkotaan dan kondisi tanah yang tidak sebagus daerah-daerah pertanian di tempat lain, mereka menyadari bahwa laku tani yang mereka kerjakan harus mampu menjaga kesuburan lahan. Karena boleh dikatakan, tidak ada pilihan pundi-pundi penghasil pendapatan lain bagi warga setempat selain bertani. Selanjutnya, saya paham bahwa dari pintu ini saya bisa aktif mewarnai upaya mereka mewarisi tanah lestari.
Petani Berkesadaran Ala Sekolah Tani.
Ilmu dan pengetahuan teknis yang selama ini diterapkan di lahan sebetulnya sudah banyak yang selaras dengan apa yang mereka harapkan. Metode pembuatan PGPR dan implementasinya, pemberian kohe (kotoran hewan) sebagai pupuk dasar, model perbanyakan aneka macam agensi hayati dan tata cara aplikasinya adalah di antara laku tani yang mendukung tercapainya tujuan.
Walau begitu, ketika saya tanya, kenapa hal-hal tersebut perlu dilakukan, banyak di antara mereka yang tidak dapat menjelaskan. Setelah ditelisik lebih dalam, para petani memang tidak punya pengetahuan utuh atas itu semua. Dugaan saya karena ilmu yang disampaikan oleh berbagai pihak belum menyentuh hal-hal mendasar yang menjadi pondasi dalam mengelola asset agraria. Hasilnya, tidak sedikit praktik yang hanya dilandasi motif ikut-ikutan. Pendek kata, petani tidak punya kesadaran penuh atas pilihan metode budidaya yang dikerjakan.
Berangkat dari permasalahan ini, saya kemudian menawarkan konsep sekolah petani berkesadaran. Ilmu dan pengetahuan yang disampaikan bertujuan membangun kesadaran petani terhadap sumber daya agraria. Pemahaman-pemahaman fundamental terkait tanah, air, udara, serta bagaimana kebudayaan manusia mengelolanya menjadi topik-topik penting yang akan dikemukakan dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Menanggapi usulan tersebut, seluruh peserta kemudian menyetujuinya. Menurut mereka, pendekatan tersebut berbeda dari kelas-kelas tani terdahulu sebelum Sekti Muda. Dengan mengangkat konsep petani berkesadaran, partisipan tidak hanya belajar keterampilan teknis tapi juga mendapatkan informasi menyeluruh mengapa praktik tersebut dibutuhkan. Tidak tiba-tiba dijelaskan bagaimana cara membuat kompos tanpa mengkaji kenapa kompos itu penting dan hubungannya dengan kelestarian tanah.
Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku
Setelah tahapan assesment untuk mencari common ground dianggap usai, saya inisiasi kelas dengan sebuah bait yang terdapat pada lagu Indonesia Raya. Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku. Walau saya pribadi tidak begitu yakin bahwa WR Supratman memaknai tanah pada lagu tersebut dengan maksud denotatif, tapi saya percaya bahwa langkah pertama untuk memulai bertani adalah memahami bahwa tanah adalah sebuah entitas hidup.
Jika hendak memberi makan dan memakmurkan bangsa Indonesia, langkah pertama yang harus ditempuh petani adalah menghidupkan tanah tempat bercocok tanam. Begitu kira-kira perenungan saya atas diksi-diksi yang ditulis pengarang lagu. Filosofi ini pun selaras dengan cara pandang para leluhur terhadap tanah yang membahasakannya dengan istilah “Nguri-nguri lemah”. Sebagian aliran sains barat yang diajarkan di kampus-kampus juga punya konsep serupa yang kemudian mereka terjemahkan dengan kalimat “Healthy Soil, Healthy Life”.
Pada praktiknya, tidak banyak petani pewaris budaya revolusi hijau yang kemudian memiliki keyakinan serupa. Kalaupun masih ada setitik iman terhadap kearifan lokal, tidak nampak manifestasinya dalam laku tani sehari-hari. Yang terfikir hanyalah bagaimana memberi nutrisi ke tanaman melalui aplikasi pupuk kimia atau kohe (kotoran hewan) yang praktis agar hasil panennya bagus. Tanah cuma diasumsikan sebagai tempat wadah sementara yang menampung hara dari pupuk yang diaplikasikan sebelum kemudian diserap tanaman.
Ketika saya mengatakan kalimat terakhir pada paragraf di atas, hampir seluruh peserta tersipu malu. Mereka mengamini bahwa selama ini memandang tanah sebagai benda mati dengan fungsi sesederhana menampung hara. Paradigma ini oleh pengkaji di universitas disebut mineral concept. Pola pikir yang mengkerdilkan peran tanah sebatas media lalu lintas nutrisi dari petani untuk tanaman budidaya.
Wukir Sari dan Tilas Mulyo
Menghidupkan tanah adalah segala upaya untuk membuat tanah kembali subur. Tidak ada acuan yang lebih baik ketika berbicara tanah subur kecuali tanah hutan perawan yang belum dirusak manusia. Tanah yang masih dalam kondisi apa adanya sebagaimana Allah menciptakan. Tanah yang berdasarkan nomenklatur orang jawa mengandung wukir sari dan tilas mulyo. Seturut penjelasan guru-guru kami di antaranya Pak TO, tanah subur terbentuk dari wukir sari atau batuan induk dan tilas mulyo alias sisa-sisa makhluk hidup yang bermanfaat.
Seiring berjalannya sunnatullah, karena reaksi fisik (panas, dingin, hujan), kimia (reaksi antara batuan dengan udara & air) dan biologi (pelapukan oleh tanaman perintis) yang terjadi di alam, batuan induk kemudian lapuk dan pecah menjadi batuan kecil (kerakal). Kerakal lalu mengalami proses serupa menjadi kerikil. Kerikil lalu melebur menjadi lebu. Berdasarkan ukuran partikelnya kemudia dibagi menjadi 3 yaitu pasir, debu dan lempung/liat. Ketiga partikel ini kemudian berkumpul membentuk material yang disebut tanah. Sebagaimana asal-usulnya, maka tanah tersebut secara alami mengandung mineral.
Dalam budaya jawa, kehidupan berasal dari 5 unsur yaitu air, udara, api, tanah dan nyawa. 4 yang berasal dari bumi dan cuma jiwa yang kembali ke Pencipta. Tidak lama setelah nyawa dicabut, 3 anasir keluar dari jasad berupa air, udara dan api. Hanya material yang berasal dari tanah yang kemudian kembali ke tanah. Inilah tilas mulyo yang baik sifat maupun kandungannya membawa kemuliaan (manfaat) bagi tanah.
Dengan demikian, tanah yang subur adalah tanah yang terdiri dari pasir, debu, lempung dan bahan organik dengan kadar tertentu secara proporsional. Keseimbangan ini adalah alasan mengapa hutan adalah habitat yang baik untuk semua jenis tumbuhan dan hewan. Tanahnya hidup karena di dalamnya mengandung sari pati kehidupan yang kemudian menghidupi alam seperti yang diutarakan WR Supratman.
Usai menuntaskan pemaparan ini, yang nampak di depan mata adalah wajah-wajah dengan mimik kaget seolah mereka baru mendegar pengetahuan asing yang benar-benar baru. Padahal saya hanya mengulas khasanah budaya nenek moyang kemudian menyajikannya sesuai konteks ilmu pertanian. Kami pun sejenak termenung menyadari betapa cepat kearifan lokal hilang digusur kehendak penguasa yang didorong kapital milik pengusaha.
Kesuburan Memaknai Tanah Subur
Setelah petani tersadarkan kembali akan asal-usul tanah subur, lalu saya memperdalam materi dengan menjabarkan karakter kesuburan tanah. Kali ini, karena belum menemukan istilah lokal untuk menguraikan makna tanah subur lebih detail, saya terpaksa menggunakan kodifikasi yang terdapat dalam buku-buku karangan sarjana barat.
Atribut kesuburan tanah dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kesuburan fisik, kesuburan kimia, dan kesuburan biologi. Walau nomenclaturnya berbeda, tapi masing-masing tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Mengingat keterkaitan yang begitu erat di antara ketiganya, semua harus hadir secara bersamaan agar ekosistem di atas tanah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik termasuk agroekosistem yang diusahakan petani.
Kesuburan biologi didefinisikan sebagai segala hal yang berhubungan dengan eksistensi organisme, baik yang masih hidup atau telah terurai menjadi kompos, di dalam tanah. Mikro fauna, mikro flora, jamur, bakteri, humus adalah nama-nama yang kemudian menentukan seberapa subur tanah secara biologis. Sifat, lakon, kandungan yang ada pada itu seluruhnya kemudian yang berperan menghidupi apa yang tumbuh di atas tanah. Ukuran saintifik yang jamak digunakan untuk menilainya adalah kadar bahan organik, populasi dan keanekaragaman mikrofauna, mikroflora, jamur serta bakteri.
Kesuburan fisik dijabarkan sebagai sifat-sifat fisik tanah yang mampu mendukung tumbuh kembang tanaman. Parameter yang mewakili atribut tersebut biasanya berupa porositas, tekstur dan struktur tanah, kapasitas lapang air dan massa jenis tanah. Bila variabel-variabel tersebut berada pada keadaan ideal boleh juga disebut tanah itu gembur.
Yang perlu menjadi catatan dari kesuburan fisik adalah kondisinya yang banyak dipengaruhi oleh kehadiran kesuburan biologi. Sebagai contoh, tanah gembur umumnya mengandung banyak humus. Berkat humus, tanah mampu secara fisik menyimpan air lebih banyak dan lama. Sebaliknya, bila miskin bahan organik, tanah mudah memadat alias kehilangan porositas dan di musim kemarau mudah kering. Tanah yang kehilangan kompos juga akan kehilangan mikrofauna seperti cacing yang berperan penting meningkatkan porositas tanah.
Pungkasan, kesuburan kimia dijelaskan sebagai seluruh karakter kimia dari materi-materi yang berada di dalam tanah yang berperan penting dalam menyokong kehidupan di atas tanah. Takaran yang dipakai untuk menilai adalah kadar hara, pH tanah, kapasitas tukar kation (KTK), kapasitas tukar anion (KTA). Berdasarkan kategori ini, tanah disebut subur bila mengandung nutrisi dalam jumlah cukup, pH tanah di kisaran 6-7, nilai KTK dan KTA tinggi serta kelarutan zat-zat beracun rendah.
Indikator-indikator di atas realitanya dipengaruhi oleh anasir kesuburan lain alias tidak berdiri sendiri. Bila bahan organik melimpah ruah di tanah seringnya konsentrasi elemen esensial yang dibutuhkan tanaman juga memadai. Aktor penentu KTK pun merupakan bahan organik yang telah terhumifikasi. Kemampuan koloid organik berwujud humus dalam menyimpan dan menukarkan cadangan kation K+, Mg++, Ca++, NO3+ telah terbukti jauh lebih baik dibandingkan lempung atau debu. Bahan organik berupa pun arang dikenal mampu meningkatkan pH yang asam dan mengikat zat-zat yang bersifat racun bagi tanaman.
Oleh karena itu dapat disimpulkan walau berbeda nama tapi mereka tidak dapat dipisahkan. Lebih spesifik lagi, sebagaimana deskripsi panjang lebar di atas, saya kemudian berani menyatakan kepada para petani bahwa faktor dari kesuburan fisik, kimia dan biologi adalah kehadiran tilas mulyo atau bahan organik.
Bila diurutkan, maka ceritanya dimulai dari tanah yang kaya akan bahan organik memunculkan keanekaragaman hayati. Beraneka ragam makhluk hidup bekerja mengurai bahan organik lalu menghasilkan nutrisi dan humus. Humus tersebut menyimpan hara dan air dan memperbaiki tekstur tanah sehingga menjadi lebih gembur. Hara-hara dan air yang disimpan oleh humus kemudian diserap tanaman untuk tumbuh kembang. Tanah gembur akibat keberadaan humus memudahkan pertumbuhan akar tanaman di dalam tanah. Tanah gembur juga menyebabkan lalu lintas air dan udara lancar. Sirkulasi air dan udara lancar menghidarkan tanah dari kondisi jenuh penyebab akar busuk, pH turun, dan tersebarnya penyakit tular tanah.
Walau sebenarnya dampak keberadaan bahan organik dan korelasinya terhadap anasir-anasir kesuburan tanah jauh lebih kompleks dari ringkasan di atas, paling tidak kemudian partisipan mendapatkan gambaran utuh mengapa tilas mulyo itu penting. Pemahaman detail tersebut lalu diarahkan untuk membangun kesadaran utuh tentang bagaimana harus mengelola tanah pertanian yang mereka miliki yang produktif di masa kini dan waktu yang akan datang.
Pilihan teknis apapun yang diambil setelah memiliki kesadaran di atas tentu bertujuan untuk menghidupkan tanah. Menghidupkan tanah berawal dari menjaga eksistensi bahan organik. Kehadiran tilas mulyo terhumifikasi membuat tanah subur secara fisik, kimia dan biologi. Setelah itu terwujud, usaha untuk memberi makan bangsa melalui pertanian dimulai.
Pengakuan Dosa
Sesuai prediksi, diskursus di atas kemudian menggugah kesadaran segenap peserta. Suasa belajar menjadi sangat berwarna dengan tanya jawab atau tanggapan dari partisipan. Sebagian meminta arahan bagaimana harus memulai perbaikan. Beberapa memilih untuk mengaku salah. Yang merasa berbuat dosa beralasan bahwa menurutnya urusan kesuburan tanah tuntas setelah pupuk kimia ditabur ke lahan. Tindakan teknis berikutnya diambil tanpa kemudian berfikir panjang. Tidak jarang keputusan itu lalu malah mengikis kesuburan biologi di tanah.
Tidak mempergilirkan tanaman, menggunakan pestisida sistemik serampangan, enggan menyisakan mengembalikan sisa tanaman sebagai bahan organik di tanah, hanya mengaplikasikan pupuk kimia sebagai jalan untuk meningkatkan produktifitas tanaman adalah beberapa teladan buruk yang dikerjakan mereka sebelum mengerti makna kesuburan secara holistik. Kalau dibedah lebih panjang, sebetulnya masih bertaburan cara-cara budidaya yang menihilkan kelestarian tanah subur. Sementara, cukup sampai itu saja.
Waktunya Pembuktian
Agar para pembelajar semakin sadar, di pertemuan kedua saya minta mereka menyiapkan sampel tanah dari lahan-lahan yang biasa digarap. Dari rumah, kemudian saya membawa plastik, pH meter, TDS dan EC meter, dan aquades. Sampai lokasi, saya jelaskan bahwa hari ini adalah waktunya membuktikan kesalahan mereka dengan uji-uji sederhana.
Sebelum memulai tes, saya jelaskan kepada mereka bahwa hara yang bisa dimanfaatkan tanaman hanya yang berupa ion, bermuatan listrik negatif atau positif. Anion dan kation ini jika tidak diadsorpsi oleh bahan organik tanah, maka akan mudah hilang larut terbawa air hujan atau menguap tersengat sinar matahari. Itu artinya, bila tanah miskin bahan organik maka cadangan hara yang terdapat di tanah juga terbatas.
Banyak sedikitnya hara yang terkandung di dalam tanah dapat dideteksi dengan Electro Conductivity meter karena sifat ion yang dapat menghantarkan listik. Semakin banyak ion yang larut maka semakin baik sifat konduksinya. Bila nilai EC meter mencapai angka tertentu maka dapat dikatakan kandungan hara tanah cukup dan bila kadar elemen esensial tinggi maka dapat diasumsikan bahwa konsentrasi bahan organik di dalam tanah juga memadai.
Setelah contoh-contoh tanah top soil yang dibawa petani dicampur dengan aquades lalu diaduk cukup lama agar ion-ion yang ada larut, pengukuran dimulai. Hasilnya tidak ada yang mengagetkan. Tidak ada satupun sampel tanah yang mencapai standar minimal angka EC ideal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan secara umum tanah pertanian di Selopamioro tidak subur. Tentu ini adalah dampak praktik budidaya yang tidak berkesadaran.
Terus Belajar Menuju Petani Berkesadaran
Pembuktian tersebut menguatkan komitmen untuk menekuni sekolah tani yang diselenggarakan Sekti Muda. Tekad untuk menjadi petani berkesadaran dengan mengkaji ilmu pertanian mendasar semakin membulat. “Kami ingin mencari tahu lebih banyak hal teknis yang dapat menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang lalu menerapkannya dan mempelajari cara-cara budidaya yang berdampak negatif untuk kelestarian tanah kemudian meninggalkannya,” tegas salah seorang peserta. Di sisi lain, kebulatan hati tersebut semakin menggelorakan semangat saya untuk terus memperkaya wawasan mereka dengan ilmu-ilmu berfaedah yang dibangun di atas filosofi tani yang benar.
Keseriusan para petani juga saya cermati nampak dari perilaku di kelas. Tingkat kehadiran sampai pertemuan terakhir mencapai 80%. 90% peserta membawa buku dan bolpen untuk mencatat materi yang disampaikan. Di sela-sela penjelasan, banyak partisipan mengajukan pertanyaan atas apa-apa yang masih belum dipahami. Seluruh pembelajar masih bersedia membayar iuran. Kas kelas itu kemudian dibelanjakan untuk keperluan pendidikan. Seturut pengalaman saya bertahun-tahun melakoni aktivitas penyuluhan, jarang petani dan kelompok tani berperilaku demikian. Begitu antusias mengikuti pelajaran. Bahkan bila sangat terpaksa harus absen, yang bersangkutan tetap memberi kabar.
Selain karena karakter mereka yang telah lama terbentuk untuk terbuka terhadap ilmu pengetahuan, saya menduga faktor materi yang ditawarkan juga punya peran signifikan. Sebagaimana pernah ditanyakan kepada Pak Sawab selaku ketua kelas, tidak semua kegiatan peningkatan kapasitas yang ditawarkan pihak-pihak yang berkepentingan mendapatkan atensi sebaik ini. Mungkin karena memang sedikit dari penyelenggara yang mengedepankan tujuan bagaimana menjadi petani berkesadaran.
Analogi yang Mememudahkan
Sebagai praktisi yang berkecimpung di sekolah lapang, tentu tidak semua konsep-konsep pertanian yang penting untuk membangun kesadaran petani saya sampaikan menggunakan istilah yang biasa digunakan akademisi. Banyak improvisasi hadir untuk memudahkan petani memahami ilmu yang diterangkan. Di antara bentuk yang lumrah saya gunakan adalah analogi-analogi sederhana.
Ketika berbicara tentang perlunya mengomposkan kohe sebelum diaplikaskan ke tanah, saya menganalogikan pengomposan dengan proses memasak bahan pangan. Manusia tidak bisa memakan padi begitu saja. Gabah harus digiling, kemudian beras di masak hingga lunak berwujud nasi baru dikonsumsi. Tanaman pun sama. Ia tidak bisa memakan langsung nutrisi yang ada di kohe sebelum diolah terlebih dahulu. Pengolahan bertujuan memecah senyawa organik kompleks menjadi ion-ion penyusunnya. Setelah berbentuk ion, barulah pori-pori akar yang begitu kecil mampu menyerapknya.
Contoh lain adalah analogi gula pasir dan terasi dalam proses fermentasi bahan organik dengan upah dan makanan bagi tukang bangunan. Buruh enggan menuntaskan pekerjaan dengan baik dan cepat bila honor yang diberikan tidak sepadan dan pemilik rumah tidak menyediakan snack dan minuman. Begitu juga mikroba yang ditugaskan untuk mengurai bahan-bahan pupuk organik cair. Bila di awal tahapan fermentasi tidak ada gula sebagai sumber energi dan terasi yang mengandung protein untuk memperbanyak diri bagi mikroba, wajar jika kemudian laju mineralisasi bejalan lambat dan tidak optimal.
Perumpamaan terakhir adalah pengaruh nisbah C/N terhadap laju mineralisasi bahan organik dengan proporsi antara jumlah nasi dalam sepiring sajian dengan lauk yang dihidangkan. Bila takaran nasi sangat banyak sementara ukuran lauk sangat kecil, besar kemungkinan nasi akan tersisa banyak karena lauk telah habis sebelum satu porsi dituntaskan. Demikian pula yang terjadi pada bahan organik yang nilai nisbah C/N begitu tinggi. Tentu masih banyak senyawa karbon yang tidak dapat diurai karena jumlah N yang terlalu sedikit.
Seturut keterangan petani yang selalu hadir di kelas, metode pemaparan semacam itu sangat menolong partisipan memahami ilmu-ilmu yang dipelajari. Tingkat penguasaan materi terlihat meningkat. Ini kentara saat saya meminta peserta maju ke depan. Ketika belum mengutilisasi analogi untuk membeberkan istilah-istilah tertentu, sedikit petani yang bisa menjelaskan ulang. Sebaliknya, jika dari awal saya gunakan perumpamaan, saat petani saya tanya kembali, banyak yang berani maju memaparkan.
Comments