Bismillah
Minggu sore, 7 November 2010, satu
tim medis MER-C tiba di Desa Paten dan segera masuk ke dalam ruang yang
dijadikan warga sebagai posko kesehatan. Selepas sholat Ashar pasien mulai
berdatangan memasuki ruang itu, 1 jam berlalu dan TIM MER-C mulai bersiap untuk
pulang. Hampir saja kotak obat tertutup, tiba-tiba datang seorang lelaki paruh
baya menemui rombongan tim medis MER-C, lalu mulailah dia bercerita, teriring
senyum polos khas Indonesia dari wajahnya. Sejenak berbincang dengan dr. Hera,
ketua tim medis rombongan MER-C, sembari menunggu resep obat disiapkan
untuknya, dia dan kami pun terdiam. Hening sesaat pun pecah saat pemilik wajah
polos itu tiba-tiba bercerita dan kata-kata dalam bahasa Jawa logat Jogja
meluncur perlahan diiringi sunggingan kedua sisi bibir pertanda bahagia.
Pak Suwerjo, dialah lelaki 40 tahun
pemilik senyuman polos itu. Besar dan tumbuh di Dusun Kinah Rejo, Desa Umbul
Harjo, Cangkringan, Sleman, beliau pun menikah dengan gadis desa setempat.
Hidup bersama puluhan tahun, Pak Suwerjo sangat mengasihi wanita yang
menjadi istri merangkap ibu dari anak-anaknya. Beberapa kenangan indah tak
luput beliau ceritakan kepada TIM MER-C. Mencari pakan ternak bersama, menjahit
dan menambal pakaiannya, serta saling pijat, adalah di antara penggalan
kenangan indah bersama istri tercinta yang beliau ceritakan. Sesembari
tersenyum, kisah-kisah indah bersama istri tercinta terus beliau ceritakan.
Dua paragraf terpapar, tak sekalipun
tergambar kes...edihan
yang begitu besar sedang menjalar di pagar hatinya Akan tetapi, kini
saatnya secarik kertas bercerita. Secarik kertas, yang terpampang tegak di
posko, bercerita tentang ratusan korban jiwa di tubuhnya dan tertulis dengan
jelas sebuah nama pada sudutnya. Nama itu adalah nama seorang wanita yang
selama ini membuat hidup Pak Suwerjo dipenuhi kebahagiaan meski kemiskinan tak
henti mengekang raga. Kinah Rejo, 4,5 km dari puncak Gunung Merapi, kini telah
rata, awan panas dan guguran lava tanpa ampun menggilas dusun itu dan
membuatnya luluh lantah termasuk di dalamnya jasad istri Pak Suwerjo.
Tak henti tersenyum beliau pun
melanjutkan ceritanya. Sang istri yang dikasihi ternyata termasuk di antara
sedikit warga yang enggan meninggalkan Kinah Rejo. Entah apa alasan sang istri,
Pak Suwerjo yang sebelumnya telah mengungsi menuju daerah aman sempat berniat
menjemput sang istri. Namun Allah Sang Pencipta yang Maha Adil dan Maha
Bijaksana telah menetapkan hari itu, 26 Oktober 2010, sebagai hari terakhir
nafas kehidupan Dusun Kinah Rejo berhembus. Awan panas bersuhu 600-1000 derajat
celcius itulah penyebabnya. Hampir bisa dipastikan tak akan ada mahkluk hidup
bertulang belakang yang sanggup bertahan diterjang awan sepanas itu, semuanya
tewas gosong terbakar.
Mengakhiri cerita sedihnya beliau
tetap tersenyum dan suasana kembali hening syahdu. Tiba-tiba seorang anggota
TIM MER-C mencoba untuk mencairkan suasana dan memecah keheningan dengan
untaian kata-kata mutiara penyejuk bagi jiwa yang baru saja terluka. Rasa
simpatik berwujud kata-kata mutiara itu ditanggapi dengan senyuman tulus nan
polos wajah Pak Suwerjo. Ya, lagi-lagi tersenyum dan tersenyum, hingga tak ada
satupun dari TIM MER-C yang sadar bahwa luka mendalam masih menganga di hati
Pak Suwerjo.
Lihat kawan, senyum memang obat
paling mujarab, kamuflase paling hebat, ungkapan cinta paling dahsyat. Meski
jatuh tertimpa tangga, ditinggal istri tercinta, kehilangan tempat tinggal, dan
menjadi pengungsi saat musim hujan, namun beliau masih mampu tersenyumtegar.
Tulisan ini hanya mengangkat
satu kisah sedih yang tersikap dari sekian banyak yang tersembunyi di balik
pekatnya asap debu vulkanik gunung merapi yang sampai saat ini belum juga
tertidur lelap. Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
Yogyakarta, 7 November 2010
Rahmat Ariza Putra
Comments
Satu kalimat yang jamak berlipat seperti gunung.
Contoh: Tiba-tiba seorang anggota TIM MER-C mencoba untuk mencairkan suasana dan memecah keheningan dengan untaian kata-kata mutiara penyejuk bagi jiwa yang baru saja terluka.
Banyaknya objek dan penyifatan membuat kalimat terasa seperti gunung. Yang membaca ngos-ngosan.
Padahal jika di-simple-kan bisa menjadi:
'Tiba2 seorang anggota TNI mencoba cairkan suasana dengan untaian kata-kata mutiara. Diharapkan dengannya bisa menyejukkan jiwa yang sedang terluka."