Guru Polisi Korup


Bismillah
                Siang itu, disebuah lampu merah pada salah satu jalan protokol kota Jogja tampak seorang polisi melambaikan tangan kirinya. Tak tinggal diam, tangan kanannya turut menggenggam peluit lalu ditiupnya. Sejenak kemudian sebuah motor memisahkan diri dari kerumunan kendaraan lainya, menepi mengikuti instruksi pak polisi.

                Selamat siang!” bisakan saya melihat sim dan stnk bapak? Ujar pak polisi kepada pengendara. Dalam kondisi gugup, pemiliki motor tampak gagap belingsatan membuka dompetnya. Kemudian dia serahkan surat-surat yang diminta kepada penegak hukum. Usai dilihat sekenanya, pak polisi mengembalikan kelengkapan pengemudi.

                Berhenti sampai disitu? Tidak. Pria berseragam itu lantas bertanya. Bapak tahu kesalahan bapak?. Sayangnya, telinga saya tak mampu menangkap jawaban pria malang tersebut. Tapi yang pasti mata ini melihat dengan seksama, polisi dan mr. X yang motornya diberhentikan dilampu merah, bergerak masuk pos polisi.

Apa yang terjadi setelah itu. Saya dan anda pasti mampu menebaknya. Polisi akan mengeluarkan surat sakti yang kita kenal sebagai surat tulang. Dilain pihak, pria malang akan segera mengajukan penawaran. Publik biasa menyebut negosiasi tersebut dengan istilah “perdamaian”. Sedangkan kamus oknum korup menyebutnya dengan istilah titip uang sidang.

                  Memang tak selamanya “korban” yang memulai. Transaksi “manusiawi” tersebut tak jarang diinisiasi oleh oknum penegak hukum yang nakal. Meskipun demikian, pilihan akhir tetap ditangan pelanggar. Andai saja dia menolak “diskon” yang diberikan penilang. Tentu ijab-qobul terlarang tak akan terjadi. Pada akhirnya,  pelaku tindak pidana ringan akan dibawa kehadapan hakim. Untuk kemudian diadili sesuai UU yang berlaku.

                Dalam kasus ini, polisi dan tersangka sama-sama memiliki daya tawar terhadap satu sama lain. Pelanggar hukum ingin segera terbebas dari jeratan hukum bahkan jikalau mungkin tanpa dikenai sangsi. Sementara itu oknum penegak hukum membutuhkan uang untuk mencukupi hawa nafsunya yang selama ini tak cukup dibungkam oleh gaji sebagai abdi Negara.

Akan tetapi sutradara sebenarnya tetaplah sang pelanggar. Jika dia adalah warga Negara yang taat hukum, baik agama yang juga diundangkan oleh Negara.  Tentu drama ini akan berakhir di peradilan sesuai dengan ketentuan. Karena pada asalnya oknum aparat tak berkuasa untuk memaksa. Sayangnya mayoritas kita adalah manusia yang rusak iman dan moral. Sehingga cenderung memilih jalan “damai” yang instan namun tidak menentramkan. Dimana didalamnya selalu ada adegan suap menyuap yang dikutuk oleh aga Negara bahkan agama.

Dari sedikit uraian diatas, saya harap anda bisa menilai. Apakah memang oknum berseragam yang bermental korup itu lahir dengan sendirinya. Ataukah kita yang justru turut menanamkan benih-benih korup kedalam rahim para abdi Negara. Dengan bahasa lain, apakah mereka otodidak belajar korupsi. Atau kita turut andil mendidik dan menyediakan ruang belajar bagi mereka untuk menjadi tikus-tikus kecil yang menggerogoti supremasi hukum.

Saya yakin anda semua tahu bahwa celah-celah oknum polisi dan kita untuk bersama-sama main belakang bukan hanya terjadi pada urusan tilang-menilang. Proses pembuatan sim juga sering menjadi lahan subur tumbuhnya praktek korupsi. Namun sekali lagi saya ingatkan, baik pribadi saya sendiri maupun anda. Korupsi bukan hanya terjadi karena ada niat oknum, namun juga karena anda membuka kesempatan. Waspadalah, waspadalah!.

Instan belum tentu haram

Sebelum anda terburu-buru mencela opini saya. Karena dianggap menggeneralisir kasus. Maka saya jelaskan bahwa benar  tidak semua shortcut diharamkan. Pemerintah yang diwakili institusi polri juga menyediakan jalan pintas yang halal. Dimana para pelanggar dapat bertanggung jawab atas kesalahannya tanpa harus bersusah payah bersilaturahmi dengan hakim dipersidangan.

Sidang di tempat begitulah kira-kira istilahnya Biasanya diselenggarakan pada saat operasi penertiban lalu lintas yang dilaksanakan oleh jajaran kepolisian atas perintah pimpinan. Konsepnya, penangkapan, sidang dan hukuman dilaksanakan pada waktu yang sama ditempat  kejadian sesuai tata aturan yang telah diundangkan. Sehingga jika suatu saat anda diciduk aparat pada saat operasi karena tidak memiliki kelengkapan berkendara. Anda tak perlu mengelak dari prosedur sidang ditempat. Karena hal itu bukan suatu keharaman layaknya kasus yang saya ungkapkan sebelumnya.
Sekian apa yang bisa saya utarakan kepada sahabat-sahabat semua. Semoga bisa bermanfaat dan menjadi bahan renungan bagi kita semua.
Toko Syafani, Jogja. 16 April 2011
Abu Hafsah Putra a.k.a Rahmat Ariza Putra. Seorang muslim mahasiswa yang bercita-cita menjadi pengusaha dan penulis


Comments