Di Indonesia, outlet jual-beli bertralis besi jarang dijumpai kecuali di toko yang menjajakan perhiasan bergengsi. Sementara di sini, pagar yang terlihat dalam foto ini adalah metode pengamanan yang sangat jamak diaplikasikan para pedagang kelontong di pasar-pasar Malagasi
Kamu yang berpersepsi bahwa di kota ini banyak pencuri tidak keliru. Seiring dengan sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya pendapatan serta mahalnya harga kebutuhan yang sebagian besar diimpor dari luar, tidak heran jika tingkat kejahatan cukup tinggi di kota industri ini.
Sebagai gambaran, pendapatan pekerja lokal asli berkisar 6000-10000 ari-ari per hari (Rp 24.000 - 50.000). Uang sejumlah itu hanya bisa digunakan untuk membeli 4-5 bungkus mie sedap goreng yang didatangkan langsung dari Surabaya. Tepat sekali, apa yang di Indonesia dianggap sebagai makanan sampah penolong mahasiswa yang kehabisan jatah, di sini adalah barang mewah.
Dengan kondisi ekonomi sesulit itu, tidak banyak pekerjaan legal yang bisa dilakoni. Menjadi kriminal di sini nampak cukup rasional mengingat apa yang tersedia sulit untuk bekal hidup normal ala penduduk Nusantara. Sehingga sangat masuk akal jika dalam rangka berjaga-jaga, pebisnis barang-barang yang oleh masyarakat +62 dianggap tidak begitu berharga memagari etalasenya dengan besi sedemikian rupa.
Oleh karena itu, seperti refleksi sebelumnya, pesan kami untuk WNI di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara, jangan berhenti bersyukur menjadi Indonesia karena semua kesempatan yang ada di negara berpresiden Jokowi jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan apa yang diterima saudara kita di Malagasi.
Pantang disebut jarkoni, yang perlu pembaca ketahui, sebelum menasehati, penulis di sini juga tidak henti-henti mensyukuri. Menjadi perantau sungguh menemukan banyak hikmah sejati, yang terus menunjukkan bahwa di luar negeri sendiri, kami menemui lebih banyak lagi alasan yang membuat diri terus berbesar hati dilahirkan berpaspor NKRI.
Comments