Lokasi penempatan kerja saya memang terpencil dan sulit dijangkau baik menggunakan jalur darat atau air. Savalaina namanya. Selain urusan jauh dari mana-mana, fasilitas untuk pekerja juga tidak selengkap di kantor operasional di Tamatave atau peternakan sapi dan domba yang hanya berjarak beberapa kilo dari biro di pusat kota.
Di tempat kerja ini, listrik hanya bisa dinikmati 3 jam dalam sehari. Kamar mandi favorit adalah kali dan tempat menghilangkan kantuk merupakan gubung beratap daun dan berlantai bambu. Bagi banyak orang, kondisi tersebut sering disebut merana hingga tidak jarang kerabat heran bertanya, kok kamu betah tinggal di sana.
Walau begitu, bahagia bukan selalu tentang sarana dan pra sarana yang ada. Jauh lebih berarti dari itu adalah dengan siapa kamu tinggal dan bagaimana mereka memperlakukan anda. Beruntungnya, di sini, saya tetap bisa riang sentosa. Tentu saja karena lingkungan dan teman kerja. Meskipun berbeda bangsa dan bahasa, interaksi sosial di antara kami cukup bermakna.
Di situs yang dikelilingi hutan dan padang savana ini, saya merasa menjadi makhluk sosial seutuhnya. Saling adaptasi, berbagi, memberi dan menerima adalah kunci.
Jika saya sakit, semua peduli. Hampir seluruh rekan kerja datang menjenguk ke kamar yang kemudian tak jarang menawarkan pijatan. Saya pun dengan senang hati bersikap serupa. Ketika seorang teman berperilaku tidak seperti hari-hari biasa, bertanya kepadanya lalu menyodorkan apa yang saya punya adalah hal biasa. Singkat ucap, Nobody gets left behind here. Satu terluka, yang lain ikut merasa.
Di luar ini semua, saya duga, kedekatan di antara pekerja secara tidak sadar terbangun dengan baik melalui rutinitas canda terutama saat waktu makan malam tiba. Topik apa saja bisa jadi bahan tawa. Padahal cara saya berbahasa Malagasi begitu terbata-bata.
Sejak itu, saya semakin sadar rupanya komunikasi itu bukan soal kesamaan kosa kata. Terlebih, tidak jarang terjadi, warna sampul paspor sama, tapi menganggap orang itu tak ada. Dengan demikian, hubungan dua arah yang hangat itu bukan tentang apa-apa melainkan itikad hati untuk saling membuka diri dan berusaha memahami.
Kembali lagi ke soal apa yang terbaik di Savalaina. Kalau rahmat yang ditanya, dengan ceria saya menyebut mereka. Orang-orang yang ada dan sedang terbahak-bahak abadi dalam foto ini.
Comments