17 Agustus adalah hari merdeka milik Indonesia. Demi menyambutnya, penghuni Nusantara biasa mengadakan berbagai acara. Umumnya kemeriahan mulai terasa sejak dua pekan sebelumnya. Agenda lomba, kerja bakti memperelok kanan-kiri jalan dan ragam kegiatan yang diramaikan warga menghiasi keseharian hingga datangnya tanggal proklamasi. Sebagai pamungkas, pemerintah mengundangkan satu hari libur nasional yang diisi pesta atau upacara.
Begitulah budaya plus enam dua dalam merayakan hari jadi bangsa dan negara. Semarak tapi tidak semulia hari raya. Euforianya tidak sampai tingkat wangsa. Paling kecil rukun warga. Selain itu, tidak pula ada baju baru atau angpau dari tetua untuk mereka yang ada di bawahnya. Yang paling terasa, tanggal merah tidak sebanyak cuti bersama.
Antitesis kebiasaan di atas adalah budaya Madagaskar menyambut perginya kolonialis dari tanah tercinta. Negara memberi lima hari tanpa kerja. Ditambah Sabtu dan Minggu, total sepekan penuh ceria. Seperti hari raya Islam di Bumi Bhineka Tunggal Ika, suka cita terasa hingga taraf keluarga.
Busana terbaik dan teranyar sengaja disiapkan menghiasi pemakainya. Meja-meja makan yang ada penuh dengan sajian paling menggugah selera. Setelah mudik, rekan, tetangga dan sanak kerabat saling berkunjung serta bertukar jumpa. Silaturahmi dipenuhi aktivitas saling memberi dan memaafkan serupa sungkeman. Yang unik dibanding angpau Indonesia, di sini yang di bawah berderma. Bentuknya berupa pekerja yang membagikan-bagikan uang kepada atasan atau anak yang menyerahkan sangu untuk orang tua. Semua ritual ini sangat mirip dengan lebaran di Indonesia.
Oh iya, ada yang terlupa. Persis di malam sebelum hari merdeka, kembang api berterbangan menghiasi langit yang biasanya hampa. Esoknya, segenap orang berkumpul di pusat kota atau desa untuk bersuka-suka. Panggung gembira dihelat di sana demi menghibur seluruh warga. Tidak ada jadwal pasti, mereka semua bebas berpesta selelahnya.
Demikian uniknya merdeka di Republik Madagasikara. Bisa jadi, rakyat Andry Rajoelina sangat sentosa saat Prancis pergi meninggalkan tanah jajahannya hingga hari Malagasi lahir kembali begitu dimuliakan melebihi peringatan yang berpusat di Roma (Natal). Padahal kebanyakan orang di sini adalah umat Gereja. Ralitas ini sangat berkebalikan dengan Indonesia. Lazimnya, penulis dan pembaca lebih bahagia saat Idul Fitri tiba.
Comments