Hari ini saya mengalami peristiwa yang mungkin akan menjadi kenangan paling berkesan selama tinggal bukan di negara sendiri. Kejadian itu, menurut saya pribadi, merupakan manisfetasi toleransi yang lebih nyata ketimbang pasang poster "Saya Indonesia, Saya Pancasila" yang jadi kegemaran para cebi. Mungkin, jika bukan di Malagasi, sulit mendapati cerita serupa ini.
Tepat tengah hari Jum'at 20 September 2019 di puncak momen sakral pada sebuah pesta rakyat, saya, yang ketika itu berdiri menyaksikan warga setempat mengikat ternak sajian, tiba-tiba dipanggil sesosok tokoh adat.
"Alefa, manafaka oumbi! (ayo, sembelih sapinya)", pintanya dalam bahasa Madagaskar. "Serre papa?(serius pak?)", jawab saya terheran-heran. "Serre, alefa, ti ansi (serius, ayo, ini pisaunya)," ulangnya meyakinkan.
Beberapa menit kemudian, terjadilah apa yang tidak disangka-sangka. Sapi yang ada dalam foto di atas saya sembelih atas nama Allah tentunya.
Sungguh sebuah pengalaman yang tidak terbayangkan sebelumnya. Jika saya dianggap hiperbola berlebih-berlebihan, mari timbang fakta berikut menurut perspektif orang Indonesia.
Seorang muslim warga negara asing dan juga tidak lahir di tanah air tersebut diminta untuk memotong seekor sapi seharga gaji 150 hari yang dibeli untuk sebuah perayaan besar suatu kaum yang seluruhnya kecuali satu dua adalah NONI. Bukankah sebuah hal yang cukup mustahil terjadi di Nusantara kalau kemudian pria seasing itu diberi kehormatan memotong sapi untuk sebuah selebrasi akbar?
Yang lebih menakjubkan dari itu semua adalah realita bahwa satu-satunya alasan saya diminta melakukannya adalah status sebagai muslim.
Menurut Papa Lix, sang pemilik hajat, saya diberi kehormatan seperti itu supaya bisa ikut menyantap hidangan daging bersama warga asli.
Ketika mendengar uraian itu, terbersit niat untuk menjelaskan hukum yang saya yakini meskipun akhirnya tidak jadi. Sebetulnya, tanpa harus turun tangan sendiri, saya masih dihalalkan mengkonsumsi. Itulah yang dijelaskan Nabi bahwa sembelihan ahli kitab bukan bangkai bagi kami. Hanya saja, sebagai bentuk balas budi, tidak ada salahnya menyanggupi permintaan mereka yang ingin menunjukkan sikap toleransi sepenuh hati
Oh iya masih ada satu kisah lagi yang membuat saya senyum-senyum sendiri. Usai sapi dipotong-potong, seseorang kemudian datang menghampiri lalu memberi setengah jantung hati kepada saya seorang diri.
Bagi saya pribadi ini simbol pemuliaan dan pertemanan. Saya dan mereka satu hati. Setengah bagian ada pada pemilik blog ini, yang lain dipunyai mereka yang berbeda agama, bahasa, budaya juga negara. Ah betapa saya beruntung sekali merantau lalu mendapat perlakuan sebaik ini.
Comments