Beyond Sustainable or Organic Farming


Apa yang terjadi jika pupuk kimia sintetis menjadi begitu langka kemudian harganya sangat mahal? Bagaimana kalau impor pupuk berhenti atau cadangan tambang fosfat dan kalium habis? Andai pabrik pupuk tutup karena bangkrut apakah petani tetap dapat bercocok tanam? Jika suatu ketika sebuah keluarga petani kehabisan modal, tidak ada dana untuk belanja sarana produksi pertanian,  apakah mereka akan berhenti berproduksi?

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah yang kemudian mendorong saya juga menyampaikan metode budidaya dengan pendekatan ekologi yang memanfaatkan sumber daya dan mikroba lokal, kalau-kalau kemudian negara ini bubar. Supaya petani tetap bisa berbudidaya dan kamu bisa makan tak peduli apapun yang terjadi dengan Jakarta

Agroekologi adalah budidaya yang secara mawas diri dikerjakan manusia untuk bertahan hidup selama ribuan tahun sejak mereka memutuskan untuk tidak lagi berburu dan meramu. Sebagai upaya mitigasi, syukur-syukur kemudian mengisi ruang-ruang produksi, penting kiranya praktik budidaya nenek moyang hadir kembali di tengah-tengah masyarakat petani

Pengetahuan yang pernah membersamai simbah-simbah kita sebelum industri agrokimia hadir di akhir abad 19 yang kemudian menghegemoni pada abad 20. Kearifan lokal yang jauh dari watak ekstraktif, eksploitatif dan kapitalistik tak berujung. Kebijaksanaan dan ilmu yang mendorong manusia seperlunya saja mengambil dari alam apa yang jadi kebutuhan keluarga dan masyarakat setempat.

Prinsip itu tentu jauh melampaui kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistis yang menjadi ruh slogan "back to nature" yang kemudian ditindaklanjuti dengan pelembagaan sertifikasi organik yang sangat kapitalistik. Selain itu, nilai tersebut jua di atas melompati asas pertanian berkelanjutan yang titik beratnya sesempit keuntungan, "kelestarian" alam dan "ketersediaan" pangan.

Ini soal keyakinan manusia yang menyatu harmoni dengan alam bukan yang merasa berhak menjadi penguasa tunggal. Ini juga tentang kesadaran bahwa hidup bukan tentang efisiensi tapi resiliensi karena sumber masalah semesta adalah keasyikan mengulik perkara untung dan rugi sementara lupa perihal rasa cukup di hati

Comments