Ketika sahabat saya @nuari_ts , yang jauh lebih muda, menikah di bulan Juni 2020 dan @amri_mughisa menginformasikan rencana resepsi di bulan Oktober, saya belum tahu akan mengikrarkan akad 3 hari sebelum HUT NKRI di tahun yang sama.
Pada masa itu, saya hanya bertekad sebelum kembali ke Jogja harus sudah berkeluarga. Alhasil, perihal calon istri, alamat, apalagi rupa dan peringainya belum tergambar spesifik dalam benak.
Ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita tersebut terhitung mudah. Bersandar pada sejumlah kenalan yaitu mas Beny Al Khedaminie dan mas Faisal Abdullah saya meminta bantuan. Kepada mereka saya bertanya barangkali ada di antara saudari, adik, teman, atau ipar yang belum bercincin di jari manisnya.
Sebagai harapan, saya tidak mengajukan kriteria rumit. Selama ia muslimah beraqidah salihah, taat suami, berkepribadian lurus dan mau ikut ke manapun pasangan pergi, buat saya sudah cukup.
Setelah proses yang santai yang memunculkan beberapa wacana nihil eksekusi, di akhir pekan pertama bulan Juli, muncul seseorang dengan impian yang berhimpun dalam semesta gagasan saya. Nety Yanti namanya.
Domisili gadis ini berjarak 250 km dari tempat saya bekerja. Persisnya di Kabupaten Sintang. Di sana ia tinggal bersama Paman dan Bibi sambung dengan aktivitas utama kuliah di UT dan bekerja di sebuah toko. Setelah foto lama dan informasi di atas yang saya terima dari seorang kawan, yang telah menjadi bapak, tidak ada hal lain yang saya ketahui tentang perempuan ini sampai penghujung bulan.
Tepat 2 minggu saja setelah menerima data mentah, saya berkunjung ke selatan berbekal tekad, mobil sewaan, dan ditemani mas Gatot selaku pengemudi. Tujuan awal kepergian itu hanya untuk memvalidasi informasi serta bertatap muka langsung dengan yang dicari. Kalau memang dirasa punya kesempatan yang layak diperjuangkan, tentu akan ada kunjungan lanjutan.
Beberapa saat setelah tiba lalu mandi dan ganti baju, saya dipanggil. Yang berlangsung selanjutnya tidak sedini agenda utama. Dalam kondisi mengenakan kaos yang lengannya sobek, saya diminta duduk di ruang tamu.
Mungkin tuan rumah sekedar ingin menjamu dan berbasa-basi soal perjalanan darat yang ditempuh selama 6 jam. Begitu prasangka saya manakala diminta turun ke lantai bawah.
Karena memang sudah larut malam, saya tidak berfikir lebih jauh terkait busana yang membalut tubuh. Paling-paling cuma ngobrol sebentar, lepas itu lanjut istirahat malam. Terlebih di jam tersebut, perempuan yang karenanya saya rela meninggalkan waktu berkhidmat kepada petani Kapuas Hulu telah terlelap.
Perkiraan saya meleset. Rupanya yang terjadi kemudian lebih panjang. Tuntas sekian menit berbincang dengan Paman sambungnya, Nety Yanti dibangunkan dan diminta hadir di tempat dan waktu yang sama. Itulah kronologi pertama kali saya bertatap muka dengan ibu dari anak saya.
Sambil tertunduk malu dalam posisi duduk berhadapan berjarak sebuah meja panjang, kami saling bertukar informasi. Kita tidak berdua, ada keluarga sambungnya yang juga turut menyimak dan memperlancar komunikasi di antara dua insan dengan 5 tahun selisih usia ini.
Pungkas bahan pembicaraan, tiba-tiba seorang wakil keluarganya berkata. "Kalau sudah tidak ada lagi yang mau dibahas, apakah kalian merasa cocok dengan satu sama lain, kalau memang seperti itu, putuskan saja malam ini mau atau tidaknya menikah".
Walau tanpa persiapan seremonial, mengingat niat kunjungan awal sebatas menginisiasi perjumpaan tanpa tirai, saya diminta mengajukan pertanyaan besar oleh sosok tertua di ruang itu.
Ungkapan yang selanjutnya dihaturkan saya adalah "Will you marry me". Dengan lirih dan masih belum berani menatap wajah saya, perempuan itu menjawab "I Will".
Dalam keadaan lelah, dihinggapi kantuk, tanpa membawa apapun selain buah tangan kerupuk basah, dan berbusana yang umumnya digunakan saat berbaring di kasur, saya telah melamar seorang gadis. Sesingkat dan sesederhana itu. Kedatangan pertama saya membuahkan kesepakatan sakral untuk melangsungkan pernikahan.
Sampai sini, status saya adalah calon suami gadis Dayak-Melayu. Sebelum pamit rehat, antara saya dan wakil pihak wanita mendiskusikan tanggal akad dengan prinsip secepatnya setelah semua persyaratan formal dan material terpenuhi.
Hasil rapat tidak memutuskan tanggal definitif karena patokan kami bukan weton atau angka cantik melainkan rampungnya urusan legalitas dari KUA Kecamatan Panjatan, Kulon Progo dan KUA Kecamatan Sintang, Sintang.
Setelah kembali ke Kapuas Hulu, saya mengirim segala berkas administratif yang diperlukan ke alamat orang tua di Jogja. Di sana, Ibu dan adik saya membantu melengkapi semua berkas yang jumlahnya bikin pusing kepala. Mulai dari yang bertandatangan kepala dusun sampai kepala KUA.
Calon istri jua serupa. Agar fokus, ia diminta berhenti bekerja. Kesibukannya sekarang adalah menggenapi segala hal yang diperlukan supaya pernikahan dapat dilaksanakan termasuk menghubungi bapak kandung yang bekerja di belantara hutan Kalimantan.
Dalam rentang 4 hari kerja, lembaran birokratif yang diatur negara telah terkumpul lengkap . Penantian terlama ternyata bukan datang dari urusan KUA, tapi paket surat-surat dari Pulau Jawa. Kelengkapan legal tersebut telat akibat covid-19. Sepekan kemudian, yang dinanti barulah datang.
Rencana pernikahan Rahmat dan Nety kemudian didaftarkan pada tanggal 10 Agustus 2020. Sehari sebelumnya, ijin dari Yayasan Bina Tani Sejahtera cuti selama 4 hari ditambah 3*24 jam sebagai bonus keluar. Saya pun bertolak ke Sintang untuk turut serta menuntaskan registrasi.
Dalam tahap ini, muncul kendala besar. Bapak kandung calon saya belum bisa dipastikan hadir karena hambatan transportasi. Wali dari jalur ayah yang lain juga tak mudah dicari. Yang sedikit melegakan adalah orang tuanya telah merestui walau via telpon.
Setelah bermusyawarah dengan yang berwenang akhirnya diputuskan bahwa dalam kondisi semacam ini negara mengambil alih perwalian. Ketetapan kepala KUA lalu dituliskan menyatakan ijab-kabul akan dilangsungkan pada 14 Agustus 2020.
Kurang dari 3 pekan sejak perjumpaan pertama kali di Sintang, atas Berkat dan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sebuah pernikahan sukses diselenggarakan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Comments